RASA PERMUSUHAN SANG WANITA KEPADA TINTA
Posted by orange lover! , 2009/04/13 19.47
Tinta adalah cairan yang menjijikan. Itu menurut saya. Saya belum menemukan cairan lain yang lebih menjijikan daripada tinta. Tinta apapun, mau yang berupa tinta dalam sebuah pulpen ataupun tinta printer. Saya belum tanya dan mengobservasi lebih lanjut kepada orang – orang dan bagaimana hasil survey menbuktikan. Entah mengapa, setiap saya harus berhadapan dengan cairan hitam bernama tinta itu, badan saya langsung nggak enak dan bawaannya malas banget. Lebih baik tidur daripada bertemu tinta. Apa yang terjadi bersama tinta nggak pernah biasa dan standar – standar aja. Selalu saja ada peristiwa yang terjadi antara saya sebagai seorang wanita disini dengan tinta. Tak ada yang indah yang saya lihat dari tinta. Bisa disimpulkan bahwa saya trauma terhadap tinta dan khususnya untuk cerita kali ini adalah tinta printer.
Semua yang berhubungan dengan komputer di rumah kalau saya bisa lakukan sendiri ya hanya saya yang bisa melakukannya. Nggak ada orang rumah yang bisa membetulkannya. Nggak tahu karena mereka sibuk dengan urusan masing – masing ataupun benar – benar nggak bisa membetulkannya. Tapi saya senang melakukannya sendiri. Saya ribet saja banyak orang yang ngebantuin malah jadi ribet sendiri. Ujung – ujungnya, saya lagi yang harus ngeberesin. Tapi setelah ada kejadian tinta printer saya habis, harus ada yang mengisinya, bukan saya, siapapun, please, jangan saya.
Waktu selesai mengerjakan makalah dikomputer bulan lalu, saya memutuskan untuk menge-print makalah itu agar cepat selesai dan dikumpulkan kala itu hari telah petang. Tapi, ketika saya menge-print nya (saya nggak tahu bagaimana menerjemahkan kata ‘mengeprint’ ke dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar), tulisan – tulisan yang tertera di kertas tak begitu jelas dan nyata. Saya menunda print-an berikutnya lalu membuka tempat tinta print dan terlihat busa yang ada didalamnya terlihat kering. Saya langsung ambil persediaan tinta yang berada dalam sebuah suntikan besar. Saya memasukkan tinta tersebut secara perlahan – lahan. Tinta itu berada dalam sebuah suntikan besar. Dengan perlahan saya mendorong suntikan itu agar tinta nya keluar lalu masuh ke celah – celah busa. Perlahan tapi pasti. Adik saya yang paling kecil datang dan duduk didepan saya untuk menonton. Kepala kami menempel. Mukanya terlihat sangat serius. Saya sepertinya juga begitu. Dia beranjak dari tontonannya. Selang beberapa menit, entah mengapa saya menekan suntikan itu dengan keras dan tinta itu muncrat. Saya berteriak histeris. Adik saya langsung terburu – buru munuju kekamar saya Dia pun ikutan menjerit.
“ Mbak Ika kenapa? “ sejurus melihat saya keheranan.
Saya merengek.
Dia tertawa. Bagaimana nggak mau ketawa pada saat itu muka saya lusuh banget. Penuh bercak – bercak hitam. Kejadian ini begitu cepat dan tak ada yang bisa mencegahnya. Hanya hasil dari kejadian itu yang terlihat. Saya sungguh kaget saat menoleh kearah kanan. Tembok nan putih yang berada tepat di belakang komputer sungguh begitu mengenaskan. Terlihat disana sungguh terbayang seperti telah terjadi suatu tragedi pertempuran berdarah nan mengenaskan. Penuh titik – titik hitam akibat cipratan tinta. Kaki saya yang sebelah kiri berlumuran tinta, kaki meja, celana pendek saya pun tak ada yang nihil terkena cipratan. Ayah saya datang tergopoh – gopoh setelah Adik saya mengadukan kejadian ini pada Ayah saya.
“ Ngapain, Ka? “ tanyanya
“ Isi tinta. Muncrat. “ Jawab saya sambil berusaha keluar dari jeratan hitam tinta.
“ Makanya pelan – pelan kenapa, sih!”
Sampai saat ini bercak hitam tinta di tembok kamar saya itupun masih bisa saya lihat. Seperti rumah yang belum selesai dibangun. Tapi kalau di lihat – lihat keren juga sih. Rada – rada seram dan gothic gimana gitu walaupun Ibu saya memarahi saya untuk segera membersihkannya. Percuma aja dibersihin kalu nggak pakai cat mah.
Seminggu berlalu dan karena terlalu banyak menge-print, tinta pun juga cepat habis. Jantung saya sudah dag dig dug kalau nanti saya harus mengisi tinta lagi. Saya buka printer dengan pelan lalu membuka tempat tinta tersebut. Kering. Tiba – tiba saya merasa gelisah. Entah kenapa. Tak ada orang saat itu di rumah. Adik saya sedang bermain di luar rumah bersama teman – temannya. Saya baru pulang kulia dan saya masih berpakaian rapih a la mahasiswa walaupun hanya memakai jeans dan kaos. Bodohnya saya tak menggantinya. Dengan terpaksa, saya bersedia untuk bersitegang dengan tinta tersebut. Nyebelin. Beberapa kali menuangkan tinta, nothing happened. Entah karena saya asyik menuangkan tinta, saya lupa untuk berhenti mendorong suntikan, alhasil, tanpa saya ketahui, tinta tersebut bocor dan menetas ke bawah karena kepenuhan dan mengenai celana jeans saya. Terlihat jeans di bagian paha saya ada cairan tinta berbentuk bulat dengan diameter 4 cm. Sungguh mengenaskan. Inginnya saya teriak dan mengutuk tinta itu bertubi – tubi. Tapi, apa mau dikata, dia hanyalah tinta dan akan berdosa jika ia menjadi manusia. Manusia tinta. Saya langsung pergi ke kamar mandi lalu merendam jeans tersebut. Arrggghh...
Dua hari lalu, saat hendak mengeprint lirik lagu Club 8 yang Someday, saya harus dibuat shock akan kertas yang tidak terlalu terlihat bacaannya setelah di print. Rasa was – was saya pun kembali timbul. Tadinya sih mau membiarkan ini terjdi dan langsung mematikan komputer tidak jadi ada acara nge-print lah. Tapi dirasa seperti tanggung. Saya memanggil Ayah saya agar membantu saya untuk mengisi tinta. Berulang kali saya memanggil dan mencari kesemua ruangan dan seisi rumah selama berjam – jam. Cieelah.. serasa punya rumah gede aja. Ya, pokoknya Ayah saya tak diketemukan. Saya garuk – garuk kepala yang tak gatal. Duh.. gimana nih. Saya haya berharap Ayah saya disini dan saya bisa menjauh dari tinta setan itu. Hahah...
Saya mengembalikan tempat tinta ke printer. Saya tak sanggup untuk melakukan pengisian ulang. Mental saya belum siap. Masih banyak persiapan yang harus di lakukan untuk mengalahkan tinta nan kurang ajar itu. Setengah jam memikirkan strategi dan mengumpulkan sekuat tenaga dan dorongan batin, akhirnya saya siap untuk menghadapi sang lawan nan hitam itu.
Saya menarik napas dan memberanikan diri lagi untuk bermain bersama tinta itu lagi. Lagipula belum tentu Ayah saya akan mau membantu saya nanti. Saya mengambil kardus yang berisi tinta dari dalam lemari buku. Saya mengeluarkan suntikan besar yang berisi tinta tersebut. Sudah mau habis. Mungkin tinggal sekali pengisian. Saya mulai mengisi tinta. Tangan saya gemetaran. Inginnya memejamkan mata dan nggak mau lihat apa yang akan terjadi nanti. Saya mendorong suntikan itu perlahan. Tapi keras sekali. Saya mendorongnya agak keras, akhirnya bisa keluar tintanya. Kedua kali.. lancar. Crrrooottttttt.......... itulah saat ketiga kalinya. Ternyata saya menekannya terlalu keras. Tinta itu berceceran kemana – mana. Lagi – lagi saudara – saudara.
Bergegas saya mengmbil tisu di meja rias Ibu. Saya tempelkan tisu itu ke ceceran tinta tersebut. Mau nangis rasanya karena nggak pernah berhasil untuk mengisi ulang tinta dengan baik dan benar. Mau les aja deh biar ada yang ngajarin. Kan capek kalau setiap mengisi ulang tinta dirumah harus membersihkan tinta yang tumpah dan mubazir banget. Ke tukang tinta juga kayaknya itu berlebihan kalau cuma mau isi tinta yang nggak seberapa. Arrrgghh.... saya benci tinta.