Nona Tinker Bell di Puncak

Posted by orange lover! , 2008/11/30 14.12

Saat – saat yang ditunggu telah datang. Di hari terakhir bulan Oktober, saya berangkat menuju daerah Cisarua, Puncak, untuk mengadakan English Hive yang diadakan oleh pihak jurusan di kampus. Sebuah acara perkenalan jurusan sastra inggris di fakultas kami. Perjalan dari Bekasi sampai Puncak tak begitu menguras tenaga karena kami mencapai tempat yang dituju dengan bus. Saya duduk di dekat jendela agar bisa melihat lalu lalangnya kendaraan di pagi hari dan juga saya tak ingin melewatkan pemandangan yang begitu menakjubkan. Sesampainya disana, saya dan teman - teman turun dari bis dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju villa dimana kami menginap sejauh...sejauh...sejauh..wah pokoknya jauh banget deh. Tulang punggung saya hampir retak karena membawa ransel yang berisi segala macam barang bawaan. Bus yang kami tumpangi nggak bisa memasuki jalan yang berliku, berbatu dan menanjak. Lagipula bus nya terlalu besar jadi jalanannya nggak muat, hehehe...
Tiba di villa, waktu telah menunjukkan pukul dua belas. Saya merenggangkan otot – otot dan tulang - tulang yang tegang dan yang kaget karena menahan beban yang berat. Walaupun hari telah beranjak siang tetapi udara terasa menggigilkan badan. Out of blue,teman saya, Tice, langsung menghampiri saya ketika dia mendengar saya berteriak – teriak memanggil namanya. Dia sudah berada di villa itu sehari sebelumnya. Mau jagain villa, katanya. Dia langsung menceritakan semua kejadian yang terjadi ketika dia bermalam disini bersama kakak-kakak senior dan para dosen. Dia kegirangan saat bercerita tentang si kakak kelas yang kami idolakan. Sampai – sampai kami membuat perkumpulan illegal dengan nama ‘HF lovers’. “ Ka.. HF, Ka!” ujar Tice sambil menunjukkan muka pengen nya.
“ Kenapa, cing? HF ketinggalan di Bekasi?” tanya saya sambil memijat – mijat kaki yang kaku.
“ Masuk dulu, yuk!” ajak perempuan berbadan kecil itu. Sumpah seksi banget nih cewek, pake legging di udara pegunungan yang dingin kayak gini.
Kami memasuki penginapan tersebut dan langsung menaiki tangga untuk menuju ke kamar di lantai atas. Villa ini cukup besar dan ada kolam renang di bagian belakang. What a great holiday! Saya meletakkan ransel di pojok ruangan agar tak terlihat berantakan. Saya dan tice menuju ke balkon untuk melihat pemandangan luar perbukitan, pegunungan dan hamparan sawah yang menakjubkan. Waw.. jarang nih saya lihat yang indah – indah seperti ini di Bekasi. Paling yang saya lihat mobil, truk, bus yang mengeluarkan asap knalpot hitam yang beracun dan gedung – gedung – gedung tak terawat.
“ Oh, ya, tadi mau bilang apa tentang HF?” tanya saya.
“ HF keren, Ka!” jawab Tice pendek.
“ Nenek gue juga tahu kalau dia keren!”
“ Dia tadi berenang, Ka! Uhh... sungguh mempesona!”
Saya hanya menatap aneh ke arahnya.
HF adalah senior saya di jurusan sastra Inggris. Sebenarnya sih kalau di lihat –lihat nggak ganteng – ganteng amat. Saya menyebutnya dengan inisial HF karena dia hampir mirip dengan vokalis grup band Goodnight Electric, Henry Foundation. Hanya saya yang menganggap dia mirip si vokalis band itu, HF lovers lainnya, mana kenal sama yang namanya band Goodnight Electric. Paling juga tahu nya ‘ Goodnight, Baby!’ yang selalu mereka ucapkan ke pacarnya setiap malam. Mereka hanya tahu dan merasakan bahwa si HF itu penuh dengan kharisma dan selalu membuat hati berbunga – bunga. Sebenarnya yang tahu bahwa kami, HF lovers, yang beranggotakan empat orang ini ( tice, fitri, iah, dan saya) mengidolakan pria itu,ya..hanya kami, sebagai HF lovers dan juga Tuhan. Karena kalau sampai satu jurusan tahu bahwa kami mengidolakannya, wah.. bahaya tujuh turunan! Malu abisss!!
“ Ka.. tadi kan HF berenang!” tice melanjutkan menyampaikan informasi – informasinya.
“ Oh, ya? Tadi kan elo udah bilang, cing! Six packs nggak??”
“ Nggak!” jawabnya sambil tertawa.
Keesokan harinya, saat pertunjukan drama akan digelar, saya mempersiapkan diri dengan kostum seperti peri. Tinker bell. Kami akan mempertunjukan drama dengan judul ‘What is neverland?’. Berbekal latihan selama dua minggu, saya berani tampil dengan busana wanita. Saya memakai legging hitam, baby doll merah, sayap kecil pink, dan ikat rambut berbulu dengan warna yang sama dengan sayapnya. Saya merasa aneh dengan penampilan seperti ini. Ketat banget. Tapi, bukan namanya Nona Ika kalau nggak percaya diri dengan apa yang dikenakannya. Menit menit berlalu, jantung saya berdegup keras. Saya dan teman – teman menuju kelantai satu untuk menuju ke halaman dimana pertunjukkan akan di gelar. Saya duduk di sofa dengan hati yang tak tenang. Ingin rasanya pulang ke Bekasi sekarang tapi saya rasa itu tak mungkin. HF lewat didepan saya. Aduh, tengsin banget nih! Saya menutup muka dengan sayap kecil yang belum saya kenakan. Salah seorang teman yang memerankan Kapten Hook langsung mengajak untuk mengabadikan moment ini. Kami berfoto bersama. Rasa hati ini agak tenang.
“ Hayo...Hayo.. sekarang ada yang mau foto bersama Tinker Bell nggak?” saya mempromosikan diri. “ Satu kali photo, seribu, ya!”
“ Murah amat!” celetuk ‘si Peterpan’
“ Biarin, bayar seribu aja belum tentu ada yang mau foto sama gue. Apalagi gue mematok harga yang lebih tinggi!” ujar saya sambil manyun.
“ Alaahh.. Berlebihan!”
“ Ayo.. ada yang mau nggak? Gue lagi cakep nih!” saya kembali mempromosikan diri dengan suara lantang khas penjual baju bekas di Senen.
“ Kak ika.. Photo yuk!”
“ Wahh... akhirnya..!!” saya menghela napas.
Para pemain ‘what is Neverland?’ bersiap – siap menuju ‘pentas’. Saya semakin deg – degan. Saat saya menuju ke arah luar, saya berpapasan dengan dosen saya, Pak Endang. Dia melihat saya dengan tatapan aneh.
“ Ika.. kamu jadi apa?? Kamu aneh banget!” ujarnya.
“ Jadi tinker bell!”
Dan dia tertawa terbahak – bahak. Dia mengambil handycam dan langsung mengarahkannya ke saya. Aduh.. malu banget! Saya menutupi muka dengan sayap.
“ Percuma ditutupin juga! Masih kelihatan tau!” kata dosen berambut keriting itu.
Swear deh, gue nge- per banget. Nge down saat itu juga. Apa gue benar – benar aneh? Ini kan tuntutan skenario. Nggak mungkin kan, Tinker Bell pake celana jeans? Tinker bell bukanlah seorang preman, kawan – kawan!
“ Weird!” celetuk dosen saya lagi.
Arrrrggghhhh.....!
Saya melihat ke arah pukul 12 dan terlihat HF sedang duduk rapi menunggu pertunjukan dimulai. Saya semakin tak tenang. Saya menuju halaman berumput dan terdapat layar putih yang terpampang lebar. Emi, senior saya bertanya apakah saya sudah siap atau belum dan saya menjawab belum. “ Gue nge down, mi! Duh, gue nggak jadi tampil ya, perut gue mules nih. Eh, gue yang megangin layar aja, ya...” Saya memberikan sejuta alasan ke Emi. Dan saya menyadari kalau wajah Emi berubah drastis. Dia terlihat kesal.
“ Elo, tampil sekarang! Nggak usah macem – macem deh!” Ujarnya sambil mengusir saya dari hadapannya.
Saya dan teman – teman pemain drama menuju ke belakang layar ketika nama kelompok kami, kelompok dua, di panggil. Tepuk tangan bergemuruh dan terdengar di seluruh daerah Cisarua. Saya mulai berdoa dan berharap tak akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Si peterpan sudah tampil dan memanggil Tinker bell karena dia memerlukan peri ini. Saya menuju ke hadapan penonton sambil seolah – olah terbang dengan kepakan sayap kecil khas peri. Dengan senyum terpaksa yang tersungging di bibir ini, saya mengitari pentas sebelum berdialog dengan Peterpan. Saya mendengar gelak tawa penonton. Entah mereka menertawakan apa dan siapa. Saya sudah siap jika mereka akan menertawakan saya. I don’t care. Pokoknya Hidup HF Lovers, lah!Ah.. nggak nyambung!
Drama yang kami mainkan ini hampir selesai. Saatnya berbaris berjajar untuk menyanyikan sebuah lagu. Bukan lagu cinta ataupun lagu putus cinta. Tetapi sebuah lagu ‘ We are Himatrisians’ jingle jurusan kami. Saya dan teman-teman dan juga penonton menyanyikan lagu bersama – sama. Saya melihat para ‘aktor’ dan ‘aktris’ di samping saya tak bergerak sedikitpun saat menyanyikan lagu ini. Padahal lagu ini adalah lagu semangat. ‘ ..We shake the sky, we tremble the ground...’. Ah.. nggak seru lo semua! Karena kecintaan saya terhadap band NIDJI, akhirnya saya menggerakkan badan saya ala Giring. Iah, yang berada disamping saya terheran – heran melihat tingkah saya. “ Heh, elo tuh ngapain sih?”
“ Ssttt.. Udah nyanyi aja!” jawab saya.
Drama berakhir. Penonton membubarkan diri. Pak Endang, diceburkan ke kolam renang. Hahaaa.. akhirnya Tuhan membalas segala perbuatannya! Basah kuyup. Ternyata semua dosen yang ikut ke Puncak di ceburkan ke kolam. Mereka ada 5 dosen. Pak Rido, dosen listening, menceburkan dirinya sendiri karena tak mau di bopong orang – orang. Bagus lah, dosen yang punya inisiatif tinggi! Lalu, Miss Lusi, hampir tenggelam karena tak tahu bahwa ia diceburkan di kolam dengan kedalaman 2 meter. Sungguh sadis! Untungnya Pak Endang langsung mengulurkan tangan membantunya naik ke permukaan. Miss Maria ini lain lagi, dia adalah dosen yang ‘besar’. Kita harus berpikir sejuta kali lagi dan butuh seribu orang untuk menceburkannya. Tapi saya bisa untuk mendorongnya. Saya bisa mendorong semangatnya untuk masuk ke kolam renang. Finally, orang – orang bisa mengangkatnya dan menceburkannya ke kolam renang. Hebat! Mari kita beri tepuk tangan yang meriah. Betapa malangnya Miss Tien yang harus pingsan beberapa menit karena tenggelam. Dia shock lantaran nggak bisa berenang. Poor her!
Sehabis tragedi kolam renang itu, saya dan yang lainnya harus membereskan perlengkapan untuk dibawa pulang lagi karena kami akan kembali ke Bekasi dan mulai lagi untuk kegiatan – kegiatan monoton. Selesai membereskan barang bawaan, saya pergi ke balkon untuk melihat pemandangan untuk yang terakhir kalinya. Saya mendengar suara – suara berisik dari arah bawah. Wah.. ada HF! Saya memperhatikannya. Dia melihat keatas, saya terperanjat. Tapi, saya langsung bertanya pada dirinya tentang penampilan saya dalam drama tadi.
“ Kak, gimana aku tadi? Bagus nggak?” tanya saya dan mengharapkan jawaban yang enak didengar.
Dia mengacungkan ibu jarinya sambil tersenyum menunjukkan lesung pipi nya. Saya pun ikut tersenyum. “ Thanks ya, Kak!” lalu kembali melihat pemandangan sambil bersungut – sungut. ‘ah, nggak puas! Mana jawabannya? Masa gue dikasih jempol doang?’
Pukul tiga sore saatnya pulang. Kami kembali berjalan menuju tempat bis menjemput kami. Duh, badan saya pegal – pegal.Mungkin gara – gara berenang kemarin tapi nggak pemanasan dulu. Abis diceburin sama senior saya, sih! Ngehe’ emang tuh! Saya dan Tice berjalan beriringan.Duh, tuh cewek jalannya cepet banget lagi! “ Ce, tungguin gue kenapa?Bawain ransel gue kek gitu!”
“ Ahah, semangat dong, Ka! Lemes banget sih lo!” ujarnya.
“ Berat banget, cing!”
“ Sini, Ka! Mau gue bawain ranselnya, nggak?” tanya Roni teman saya.
Saya heran mengapa pria ini berubah menjadi baik hati dan ramah sekali. Biasanya tak seperti ini. “ No, thanks!”
“ Kak Roni, bawain tas aku aja nih!” ujar salah seorang gadis berambut panjang angkatan 2008.Saya lupa siapa namanya. Pokoknya, rambutnya panjang lah.
“ Boleh, boleh! Sampe mana?” tanya Roni sumringah.
“ Sampe bis, deh!”
“ Sepuluh ribu, ya!”
“ APPAAA???!! Pake bayar? Dasar! Kebaikan hati yang terselubung! Aku kira Kak Roni baik orangnya. Ternyata... Tak kusangka!” ujar gadis itu sambil merebut kembali tas miliknya.
“ Lagian sih! Emang elo nggak pernah ketemu Roni di Stasiun Senen, ya? Dia kan jadi tukang angkut barang calon penumpang. Udah sih, bawa aja tas lo sendiri, manja amat!” ujar saya agak kesal. Sayangnya pria yang telah mengadu domba kami itu sudah berjalan jauh di depan kami. Kalau masih di depan saya, saya gebukin sampai tak bernapas lagi! Hehehe.. Bercanda!
Di bis, saya, Tice dan Fitri duduk bersama. Udara dingin terasa sampai menusuk tulang. Embun mulai menampakkan dirinya. Rintik – rintik hujan seolah mewarnai detik –detik terakhir kami meninggalkan Cisarua. Handphone berkamera milik Fitri kembali menangkap pose – pose aneh kami. Dari tersenyum manis sampai raut muka bosan karena bis yang kami tumpangi tak kunjung bergerak menyelusuri jalan Cisarua untuk kembali ke Bekasi. Macet, cing! Akhirnya, bis berjalan menyusuri jalan Cisarua yang basah. Sepuluh menit berada dalam perjalanan, kami tertidur kelelahan. Saat terbangun, kami kelaparan.
“Ce, gue laper nih!” bisik saya sambil memegangi perut.
“ Duh, pusing gue! Elo masih punya makanan nggak, fit?” tanya Tice ke Fitri. Mukanya berubah pucat.
Saat itu saya melihat teman saya, Siro, yang bernama lengkap Siti Robbayani ini memegangi seplastik kue. Tapi dia tak melihat kami yang sudah kurus kering tak kena makanan. “ Siro, minta dong!” pinta saya. Dia tak menoleh. Tetap bersenda gurau dengan teman – teman lainnya. “ Ce, kagak nengok!”
“ WOIII... SIRO!!!” teriak Tice sampai orang yang duduk di depan kami terbangun dari tidurnya. Siro tetap menghiraukan teriakkan super ala Tice.Mungkin suara Tice tak terdengar oleh Siro karena bisingnya suara mesin di bis ini. “ Anjrit nih!”
“ Minta aja sama Rima, Ce!” usul Fitri.
“ Minta aja sono. Gue doa’in biar dikasih! Ampe tua juga nggak bakalan dikasih.” Tice mulai kesal dengan kejadian itu. “ Gue laper banget, cing!”
“ Kita ini dimana sih?” tanya saya sambil celingak – celinguk melihat luar jendela. Yang ada hanya mobil, truk, jalan beraspal dan air hujan. “ Duh, tukang Mie Ayam dimana, sih? Turun yuk!”
“ Hah, canda lo, ya? Mana ada tukang Mie Ayam di jalan tol?” ujar Tice sinis.
“ Ya ada lah! Tukang Mie Ayam yang stres karena dagangannya nggak laku trus dia berusaha untuk bunuh diri dengan menabrakkan dirinya di jalan tol ini, gitu!”
“ Arrgghh... ee’ lo! Tambah laper gue!”
Tiba – tiba Siro datang membawa biskuit dan memberikannya kepada kami. “ Eh, elo mau nggak? Laper ya? Diem aja!”
“ anjing..anjing..anjing!!” gumam kami serentak.
“ Thanks ya, Siro, baik banget!” ujar Fitri agak menyindir.
Si Siti Robbayani itu pun meninggalkan kami menuju ke tempat duduknya.
Pukul 7 malam bis kami tiba di kampus. Saya mengirim pesan ke pacar saya untuk minta diantar pulang. Tadinya sempat ragu untuk meminta tolong, karena dia sedang ada acara di kampus untuk menjadi LO Monster of Rock. Ya, siapa tahu dia punya waktu luang.
Upu, bisa anterin Ca plg g?
Lalu pesan saya dibalas
Bisa deh, lgi nyantai nih!Udh nympe kmps,y?
Saya mengirimkan pesan lagi
Y udh. Q tnggu di UPCM, ya.
10 menit saya menunggu. Begitu lama. Padahal acaranya ada di lapangan belakang kampus. Kayaknya ada yang tidak beres, nih!Tiba – tiba handphone saya berbunyi tanda menerima pesan.
Ca, upu g bs ngnter, Q mw jmpt artis. Mav ya!
APPAAA...!!! Kesal banget. Saya kan sudah lama tak bertemu dia. Sibuk banget apa, ya! Akhirnya saya mengirimkan pesan ke adik saya.
Jmpt dong di kmps! CEPET!
Lalu, adik saya datang dan kami langsung tancap gas untuk pulang kerumah. Badan saya terasa sakit semua. Sampai di rumah, saya langsung membereskan semua barang bawaan lalu mandi dan siap – siap tidur. Ketika hendak mandi, saya mencari handuk yang saya bawa ke puncak. Di dalam tas tidak ada, di lemari apalagi. Waduh, bahaya nih, bakalan nggak pake handuk abis mandi. Lalu saya mengingat semua kembali saat saya berada dipuncak. Dan ternyata... Arrrgghhh... HANDUK SAYA KETINGGALAN DI VILLA..!!!!

2 Response to "Nona Tinker Bell di Puncak"

king of louis Says:

oooOOOOOOooooo.................!!!!!!!!!!!!penggemar rahasia ne...............?????????????? wah.......cpa ne.....??? prmainannya blh ja ne.... bgus c...crt'y tp sry w gi males bca,,, kpn2 z dech

Anonim Says:

gila........ panjang banget cerpennya. jadia'in buku aja dech!!!