Menginjakkan kaki pertama di Plaza Indonesia
Posted by orange lover! , 2008/11/30 14.15
Ya, namanya juga mahasiswa, kadang hanya punya budget sedikit buat beli segala macam kebutuhan untuk kegiatan perkuliahan. Itu juga hasil tabungan menyisakan uang jajan setiap hari. Apa – apa maunya yang murah. Beli buku nggak pengen yang mahal – mahal, yang penting bisa di baca dan dipahami. Saya adalah salah satu dari mahasiswa tersebut. Setiap diminta dosen untuk mencari buku pegangan, saya baru akan membelinya. Kalau belum disuruh atau nggak disuruh juga nggak bakalan beli. Hhehee..
Setiap diminta untuk membeli buku, saya selalu pergi ke Kwitang di daerah Senen sana. Selain bisa menawar harga habis – habisan, saya bisa jalan – jalan keliling kota Jakarta. Dari harga Rp 75, 000 untuk sebuah buku, saya bisa dapatkan dengan harga Rp 20,000 dengan ngotot – ngototan dulu sama penjualnya. Nggak peduli mau dipelototin atau pun di cuekin, menawar harga sebuah buku dengan harga yang benar – benar terjangkau harus tetap dipertahankan.
Seperti Minggu kemarin di pertengahan November, saya dan dua orang teman, pergi ke Kwitang untuk membeli buku Pengantar Filsafat dan Novel The Canterbury Tales di Plaza Indonesia. Untuk sampai ke daerah Senen, kami naik kereta Jabotabek dari Bekasi. Saya dan dua orang teman, Tice dan Fitri, janjian di depan loket kereta pukul 9. Saya terlambat 30 menit karena harus disuruh Ibu membeli tahu. Sebenarnya nggak penting banget alasannya, tapi, It is real. Dalam perjalanan, Tice menelpon dan menanyakan keberadaan saya.
“ Heh, elo dimana?” tanya Tice agak kesal.
“ Di mall, Ce, dikit lagi, sabar yak!” jawab saya.
“ Cepetan, deh! Kereta nya tuh udah mau jalan!”
“ Okeh!”
Sesampainya di stasiun, saya mencari dua orang teman saya yang telah lama menunggu. Saya mengirimkan pesan ke Tice.
Dmn, cing? Gw udh smp di stasiun. Dpn lokt
Lalu Tice membalas pesan saya,
Qt ada ddpn lokt dlm. Cari j 2 cwk cntk.
Ah.. Berlebihan. Saya masuk ke dalam stasiun dan mencari dua cewek cantik itu. ‘ mana? nggak ada!’. Saya mendekati dua orang cewek yang mengenakan loss dress ungu dan satunya lagi memakai kerudung hitam dan memakai cardigan merah. Saya masih celingak – celinguk mencari dua cewek cantik itu.
Cewek yang memakai loss dress ungu itu menyapa saya.
“ Heh, Ika! Ngapain sih lo?”
“ Lagi nyari dua cewek cantik!”
“ KITA KALEEE....!!” ujar dua cewek itu serentak. Dan ternyata mereka itu adalah Tice dan Fitri. Hahahah...!
“ Najis, lo!” sindir saya acuh tak acuh. Lalu duduk disamping mereka. “ Udah beli tiket belon?”
“ Belum.” Jawab Tice pendek.
“ Beeeh...katanya keretanya mau jalan!”
“ Biar elo cepetan. Ya udah yuk kita beli aja sekarang!”
Tice beranjak dari tempat duduk nya dan menuju ke loket. Saya dan Fitri mengikutinya. Di depan loket tertera angka 10 : 28. Apakah itu berarti keretanya akan berangkat pukul 10 : 28 ? Padahal jam tangan orange yang saya kenakan ini baru menunjukkan pukul 09 : 45! Damn! Kami menuju ke peron dan duduk di kursi panjang sambil menunggu kereta yang akan membawa kami ke Senen. Kami hanya memperhatikan lalu lalang calon penumpang lainnya, pedagang – pedagang yang menjajakan dagangannya, dan pengemis – pengemis yang setiap menit meminta uang kepada kami.
“ Siapa sih, yang nyaranin buat dateng jam 9?” tanya saya sambil menatap nanar ke depan.
“ Si Fitri tuh!”
“ Ya udah lah..! Gue kan nggak mau ketinggalan kereta, cing!” jawab Fitri tanpa mau disalahkan.
“ Iya aja deh!” ujar saya mengalah.
Hening. Tanpa suara yang kami keluarkan. Hanya suara bisingnya kereta yang melewati Stasiun Bekasi tanpa berhenti. Saya memperhatikan seorang wanita setengah baya yang berdandan nyetrik. Dia memakai kemeja dengan motif bunga warna – warni dengan legging hitam dan dengan motif kotak-kotak putih. Tak indah sekali. Rambutnya keriting panjang seperti model rambut zaman Meriam Belina di film catatan si Boy. High heels hitamnya bikin gue jadi khawatir akan keselamatan hidupnya. Mudah-mudahan saja dia dapat tempat duduk di kereta yang akan dia naiki nanti. Kalau tidak, wah, pasti pegel banget kakinya. Duh, ribet banget hidup ini!
Thanks God, kereta yang kami tunggu akhirnya tiba. Semua penumpang berebut menaiki kereta dan mencari tempat duduk yang kosong agar tak berdiri terpaku saat di perjalanan. Saya langsung menempati tempat duduk yang kosong. Untungnya muat untuk bertiga. Kereta mulai berjalan menuju Kota. Sesampainya di Stasiun Senen, kereta berhenti dan kami bertiga pun turun. Pasar Senen menjadi tujuan tak terduga kami untuk membeli baju lima ribuan. Diiringi panas terik matahari, kami menaiki tangga pasar menuju pedagang yang menjual baju – baju tak baru lagi itu. Fitri antusias sekali melihat kaos – kaos tersebut yang begitu murah. Dia membeli dua buah kaos abu – abu. Saya yang sedang tak bersemangat untuk membeli baju hari itu hanya membantunya. Keluar dari pasar, kami menuju ke kios pedagang buku – buku dekat terminal Senen. Ini adalah tujuan kami yang tak terduga lagi karena sebelumnya kami berencana untuk ke Kwitang tapi nggak jadi lagi deh, soalnya jarak dari Pasar Senen ke Kwitang itu cukup jauh dan melelahkan jika harus berjalan kaki. Jadi, kami memilih tempat yang terjangkau saja karena hari sudah siang dan belum melanjutkan perjalanan kami selanjutnya menuju Plaza Indonesia. Saat melihat – lihat buku, para pedagang sudah memanggil – manggil dan bertanya – tanya kepada kami, “ Neng...Neng..Sini..Sini.. Cari buku apa?”
Saya berhenti di salah satu tempat pejualan buku murah itu. Lalu bertanya apakah penjual itu menjual buku. Tentu saja jawabnya ‘iya’. Tapi ketika saya bertanya lagi apakah ia menjual buku Pengantar Filsafat, ternyata ‘tidak’ jawabannya. Brengsek! Saya beralih ke toko lain dan menanyakan hal yang sama. Tapi kali ini pertanyaan saya yang kedua menghasilkan jawaban yang sungguh menyesakkan dada. “ Ada, delapan puluh ribu, deh!”
“ Apa? Busyet! Mahal amat, Bang! Lima belas ribu, ya!”
“ Lima belas ribu? Nggak deh! Bukunya tebel loh!”
“ Boleh liat dulu nggak?”
“ Mau nggak?”
“ Mau. Mau. Tapi Lima belas ribu, ya!”
“ Nggak bisa deh!”
Saya berusaha lebih giat lagi untuk mendapatkan buku tersebut. Bagaimana pun caranya. Kalau sampai saya tak mendapatkannya, masih ada Tice yang bisa mengeluarkan jurus pamer paha. Siapa tau penjual buku tersebut bersedia memberikan harga lima belas ribu untuk buku Pengantar Filsafat itu. Hehehhe...
Saya menyerah. Penjual – penjual yang pelit. Masa’ untuk sebuah buku yang hanya berisi 500 halaman bisa dihargai delapan puluh ribu? Kelewatan! Saya kembali pada penjual buku pertama. Dia masih ngotot dengan harga yang menjulang tinggi itu. Akhirnya saya menaikkan harga tawaran. “ Ya udah deh, Dua puluh ribu, Bang!”
“ Dua lima deh ambil!”
‘Saya boleh ambil dua puluh lima buku? Banyak sekali! Satu saja, Bang!’ gumam saya dalam hati. “ Dua puluh ribu aja, bang!”
“ Ya udah nih!”
Saya tertawa penuh kemenangan. Buku ditangan, selembar uang dua puluh ribuan saya berikan ke penjual buku ngehe’ itu. “ Thanks ya, Bang!”
Kami lekas menuju busway shelter Central Senen. Membeli tiket menuju blok M dan nanti turun di Plaza Indonesia. Saat menaiki jembatan penyebrangan menuju antrian arah blok M, terlihat antrian sudah cukup panjang. Kami berhadapan langsung dengan Mulia Theatre. Nampak di situ terpampang poster – poster film yang di putar di bioskop tersebut. Ada salah satu film yang menarik perhatian kami. Kalau tidak salah berjudul, ‘ Kalau Mau, Masukin Aja. Besar Kecil It’s Ok’. Banyak pikiran –pikiran tak menentu bergejolak dan teracak – acak dalam kepala kami. Film jenis apakah itu? Ya sudahlah biarkan saja. Eh..Eh.. Tapi kayaknya mantap tuh film! Nonton nggak ya?
Saya berada dalam busway yang penuh sesak. Buat pegangan aja nggak ada celah. Tice berpegangan ke saya. Dia hampir tak terlihat di bis yang penuh akan penumpang ini. Maklum, dia itu ‘kecil’ saya takut dia terinjak – injak penumpang lainnya. Makanya, Ce, rajin – rajinlah makan – makanan yang bergizi!
Kami tiba di Harmoni untuk transit menuju Blok M. Lagi lagi harus ngantri. Udah capek, lepek, basah ketek, bengek....
Setelah mengantri untuk beberapa menit, saya akhirnya berada di busway yang alhamdulillah tidak begitu sesak seperti yang sebelumnya. Saya dan teman – teman masih bisa saling bersenda gurau. Busway berhenti di Bundaran Hotel Indonesia. Saya bertanya pada penjaga pintu buswaynya. Hehhee... Untung saja bukan penjaga pintu neraka ya. “ Mas, kalau mau ke Plaza Indonesia turun dimana? Disini ya?”
“ Iya disini. Ayo cepet kalau mau turun!”
“ Cing, turun!” ujar saya setengah teriak saat sudah menginjakkan kaki di shelter Bundarah H.I. tersebut.
“ Sialan, lo! Kalau mau turun bilang – bilang dong! Kalau gue ketinggalan, gimana?” gusar Tice.
“ Lah, tadi kan gue udah bilang!” sergah saya
“ Telat, njing!”
“ Sorry!”
Kami menaiki jembatan penyebrangan menuju Plaza Indonesia. Kami sempat ingin mengambil gambar dengan background Wisma Nusantara dan Hotel Nikko tapi keinginan itu sirna. Saat mau berpose, ada dua orang bule Jepang melewati kami. Dan kesempatan itu pun tak kami dapatkan kembali. Ketika kami melihat bacaan ‘PLAZA INDONESIA’ di tembok sebuah gedung, kami berasumsi bahwa itu adalah Plaza Indonesia. Kami langsung memasukinya. Tapi...
“ Ini bener pintu masuknya, cing?” tanya Fitri.
“ Udahlah masuk, Chill aja, cing!” jawab saya sok tahu.
Didepan pintu masuk terdapat seorang satpam muda dengan seragam biru. Dia memeriksa tas kami. Dia tersenyum kecut. Entah apa maksudnya. Kenapa? Baru lihat orang kayak kita masuk Plaza mewah ini, ya? Tapi kita cantik kan? Maaf ya, Mas, kalau sedikit norak. Baru pertama kali, sih!
Akhirnya kita didalam Plaza Indonesia. Wah... It is Awesome! Beda banget sama Mall Metropolitan! Hehehee... What a great Plaza! Kami memeragakan gaya gadis desa yang baru tiba di kota.
“ By the way, satpam tadi ganteng, ya! Satpamnya aja ganteng, gimana yang lainnya?” ujar Tice sambil menoleh kebelakang melihat satpam tadi.
“ Kinokuniya nya dimana, cing?” tanya saya ketika berjalan melewati sebuah butik ternama dan bermerk. “ Perasaan pada toko baju semua ini.”
“ Ya udah sih, cari aja!”
Kami duduk di sofa panjang di bawah eskalator lantai 2. Adem beneeeerrrr....!! Bule – bule bejalan melewati kami. Mereka sibuk berkeliling mencari keperluan mereka atau sekedar window shopping. Sambil beristirahat sejenak, kami masih sempat bersenda gurau dan lupa kalau harus membeli sebuah novel. Lalu tiba – tiba Fitri berceletuk,” Bule, cing! Field trip ( tugas kami sebelum mengikuti UAS, make a conversation with foreigner), yuk!”
“ Sana elo aja, gih! Nggak tepat waktu dan tempatnya.” Ujar saya sambil membetulkan tali sepatu yang agak kendur. “ Kita cari, yuk toko bukunya! Eh, gue sms pak Endang aja, deh!Nanya di lantai berapa toko bukunya.” usul saya lalu beranjak dari sofa tersebut.
“ Ke toilet dulu, yuk!” ajak Tice.
Kami menuju toilet dengan bantuan direction way. Toilet itu berada di paling pojok. Tapi ternyata hanya toilet laki – laki. “ Toilet cewek nya dimana, mas?” tanya saya pada seorang penjaga toilet pria tersebut yang berpakaian sangat rapi. Dia menunjuk sebelah kirinya. Dan ternyata voiilllaa.... toilet wanita! Saya merapihkan rambut di depan kaca. Tice menaburkan bedak di wajahnya dan memakai parfum yang enggak banget deh baunya. Cewek banget. Saya mencuci tangan di wastafel yang ada di belakang saya. Dan sebenarnya saya malu untuk menceritakannya pada dunia karena saya tak bisa menggunakan kerannya!! Bodoh! Padahal tangan saya sudah penuh sabun. Saya pencet, putar, tekan, tarik atau apalah, air nya tidak sama sekali mau keluar. Lalu ada seorang wanita keturunan tiong-hoa masuk mencuci tangan disebelah saya dan dia berhasil menggunakan wastafel itu dengan baik. Aduh... mampus deh, sabun di tangan saya ini mau dikemanain??? Fitri yang sedang berada di kamar buang air kecil lalu memanggil saya. Saya masuk kesana dan bertanya ada apa gerangan. Apa dia mau menunjukkan sesuatu?
“ Ka, gue kan udah selesai pipis, trus siramnya gimana nih? Dipencet tombol ini, ya?” tanyanya bingung. Kasihan sekali gadis itu.
“ Ya udah, pencet aja!” usul saya. Dan berhasil! Yeaasshh!! Spontan kami tertawa. Entah menertawakan apa. Mungkin menertawakan kenorak’an kami atau memang kita ingin tertawa saja karena meratapi nasib baru pertama kali ke Plaza Indonesia. Terserah lah!
“ Cepetan keluar dari tempat ini!” ujar saya. Kami beranjak dari toilet itu dan bergegas ke lantai atas tempat buku itu dijual. Akhirnya kami menemukan toko buku itu. Kinokuniya namanya. Langsung saja kami mencari The Canterbury Tales tapi, tunggu.... Covernya beda, buku ini hijau dan hanya tertera judul dan penerbitnya saja. Kemana gambarnya? Kok tak seperti yang ditunjukkan oleh Dosen saya? Kenapa harganya lebih mahal?? Saya bertanya pada kasir mengapa buku ini menjadi seperti ini. Adakah buku dalam versi lain? Ternyata tidak ada. Akhirnya kami membelinya dengan harga 55.000 rupiah dengan cara patungan. Saya tidak jadi membelinya karena saya pikir harganya 30.000 rupiah seperti punya dosen saya yang harganya saya lihat dibagian belakang buku. Huh!
Keluar dari Plaza Indonesia, kami menunggu bis di halte depan Hotel Hyatt. Sebenarnya sih, nunggu saudaranya Tice dulu, tapi lama banget datangnya, saya sudah kelaparan dan tak ada yang berani bertanggung jawab atas kosongnya perut ini. Fitri mengajak saya untuk berfoto bersama. Tampak seorang lelaki yang duduk agak jauh dari kami terlalu memperhatikan dengan seksama. Rambutnya gondrong, tatapannya tajam, sadis dan menyeramkan. “ Eh, lihat arah jam tiga deh, cowok itu lihatin siapa, sih?” bisik saya pada teman – teman. Dia tetap memperhatikan kami. Seperti ingin berbuat sesuatu dan kami menjadi curiga dan was – was. Saudara Tice datang dan betapa kagetnya saya dan Fitri karena tampangnya mirip preman. Seram banget. Tice mengajak saya ke Blok M untuk berkunjung ke rumah saudaranya itu. Saya menolak nya dengan alasan nggak mau pulang kesorean. Saya pamit pulang bersama fitri dan Tice beserta saudaranya mengikuti kami naik tangga penyebrangan. “ Elo emang mau kemana sih, Ce?”
“ Gue nungguin elo naik bis dulu! Masa gue tinggalin elo begitu aja, sih?”
Saya menunggu bis menuju ke Bekasi. Fitri membeli sebotol air mineral. Saya meneguknya sambil melihat sekeliling tapi alangkah kagetnya saya ketika melihat sesosok pria yang kami curigai itu ada di belakang saya. Anjrit! “ Cing, liat deh apa yang ada di belakang gue!” ujar saya ke Fitri. Fitri kaget. Dia menceritakannya kembali ke Tice lalu ke Saudaranya Tice ( maaf saya lupa namanya).
“ Yaelah, gitu aja ditakutin. Tenang.. ada gue.Tuh, seisi Kopaja bisa aja gue suruh turun semuanya kalau elo mau.” Ujar pria itu dan berusaha menenangkan kami.
“ Serius lo?”
“ Lagian kenapa sih, curigaan kayak gitu?” ujarnya lagi.
“ Asal lo tahu ya, dari tadi di halte, itu cowok udah ngeliatin gitu, cuma kita doang yang diliatin. Terus, tatapan nya itu loh, kayak tatapan mau nyopet atau ngerampok gitu. Eh, sekarang malah ada di belakang kita. Gimana orang nggak curiga coba?” Jelas saya agak berbisik. Tak disangka tak dinyana, pria gondrong yang kami curigai itu malah menyetop sebuah kopaja jurusan Ragunan – Blok M lalu dan berlalu dengan menumpang bus tersebut. Alhamdulillah... Sialan tuh orang. Bikin kaget aja. Tak berapa lama Bus yang kami tunggu datang. P 50 jurusan Tanah Abang – Bekasi. Kami naiki lalu mencari tempat duduk yang kosong tapi ternyata sudah penuh. Sang kondektur menyuruh kami untuk duduk di dashbor samping Pak Supir. Duh, pusing banget gue, duduk terbalik gini arahnya. “ Fit, do you feel something?” tanya gue ke Fitri yang sedang tertunduk. Mungkin ia sedang meratapi kejadian hari ini.
“ Ia nih, Ka, pusing!” jawabnya pelan. Wajahnya terlihat pucat. Bus yang kami tumpangi ini melewati jalan tol. Saya berharap ada tukang obat keliling yang menjajakan dagangannya di bis ini. Tapi ternyata hanya ada tukang kacang goreng yang maksa gue buat beli kacangnya. Brengsek!
Sesampainya kami di Bekasi, kami turun di Tol Bekasi Timur. Fitri dan Saya jalan menuju pos Polisi dekat tol menunggu angkot kedua yang akan ditumpangi Fitri lagi. Saya sudah menelepon rumah untuk meminta jemput. Fitri telah berlalu. Hanya saya disini. Saya duduk di bangku kosong disamping seorang wanita cantik dengan maskara tebal di bulu matanya. Dia terlihat gelisah. Begitu pun saya karena sudah menunggu 15 menit disini. Tiba – tiba...
“ Dek, boleh minta pulsanya nggak?” tanya nya pada saya saat saya sedang membalas pesan seorang teman. Entah kenapa jantung saya bedegup kencang. Sangat kencang dan tiba – tiba. Bukan karena saya jatuh cinta pada wanita itu, tapi karena saya takut handphone saya dirampok. Karena barang satu – satunya ini yang paling kusayang dan ku rawat dengan sepenuh hati.
“ buat apa, ya?” tanya saya agak gugup.
“ Buat sms. Handphone saya dua – duanya lowbat. Boleh ganti simcard nggak?” jawab dia agak memelas.
Saya memperhatikannya sambil membuat keputusan apakah saya harus menukar handphone ini atau tidak. Saya lihat handphonenya N-73 kalau handphone saya diambil berarti handphone canggih ini akan berada ditangan saya. Biarlah handphone yang tak begitu mahal itu dirampasnya. Saya mau ambil gambar dari kamera aja susahnya bukan main. Tapi saya berpikir lain. “ Gini aja deh, nomer handphonenya sebutin nanti saya yang sms aja.!”
“ Ya udah deh.” Lalu dia menyebutkan nomor handphone yang akan dia kirimi pesan. “ Bilang, udah di pos polisi!”
Saya mengetiknya dengan cepat. Lalu mengirimkannya. Terkirim. “ Udah nih!”
“ Thanks ya, mau di ganti nggak pulsanya?”
“ Nggak usah. Nggak apa – apa kok!”
Lalu ayah saya datang dan saya buru – buru pergi dari tempat itu. Anjrit! Ada apa dengan hari ini? Untung aja happy ending nih ceritanya. Kalau nggak, berarti Tuhan punya rencana lain untuk saya. Thanks God you save me today.
Luttu juga your experience teh girlzzz....
secara gua juga pernah ngalamin hal yang sama..
sekelompok bunga desa yang mencoba berpetualang di kota besar,huehe...
kalo menurut gua perjalanan kaya gitu tuh emang perlu banget dilakuin sekali-kali...walaupun diwarnai dengan kesengsaraan dan keletihan yang menyesakan dada, tapi hal itu memang lazim terjadi, coz kalo ga kaya gitu alias lancar-lancar za, kayanya jadi ga terlalu berkesan dweh...
I also have the worst experience,(nebeng curhat juga ahhh ^_^) waktu itu gua abiz fieldtrip di Fatahillah, pulangnya gua ke Blok M, mau ke tempat sang Ayah...turun dari Busway Gua langsung ngibrit keluar, sok tahu geto, secara gua dah beberapa kali kemari...
the fact is gua nyasar bray...gua nyari-nyari bis yang ke pasar minggu, tapi malah nyasar ke Grande, Mallnya orang kaya geto...gua serasa berubah menjadi seekor liliput disana, so pathetic bgt deh...dah gitu gua sendirian...
gua terus berjalan, dan ternyata bodohnya gua malah mengitari seluruh kawasan Blok M yang gede ntu...lutut wa serasa mau copot....
tapi pada akhirnya gua bisa survive dan kembali ke pelukan ayah pertiwi..hahahaha.....
satu hal yang gua sadari...ternyata petualangan yang seru tuh ya yang banyak rintangannya...
yah rada-rada similar deh sama cerita lu crut....
Gud bye Kacrut..