Dikhianati sang kekasih adalah salah satu penyebab seorang wanita menjadi stress, terpukul, menangis, yang lebih ekstrim lagi, bunuh diri. Seram. Untungnya sampai saat ini saya tak terlalu sering di buat menangis karena dikhianati cinta. Hahaa..Lebay abis! Tapi, seorang cewek bernama Ikke yang tinggal didekat rumah saya adalah salah satunya korban dari kejamnya cinta. Saat itu, lima menit setelah adzan maghrib berkumandang, saya disuruh Ibu untuk mencuci piring. Lagi asyik – asyiknya mencuci piring sambil bersenandung kecil lagu nya Seringai tiba – tiba adik saya Hary, memberitahukan bahwa tetangga saya itu datang kerumah. “ Mbak, ada temennya tuh! Mbak ikke!” “ Duh, ngapain sih? Bilang aja gue lagi mandi atau masih tidur gitu!” “ Tapi dia nangis!” Hah? Nangis! Wah, udah nggak bisa ngomong apa – apa lagi nih! Kenapa lagi tuh cewek, maghrib gini kerumah orang mau numpang nangis. Saya mencuci tangan lalu menghampirinya yang sedang terisak – isak di depan rumah saya. Saya memeluknya. “ Elo kenapa, cung?” Hikss..hikss.. “ Ngomong dong!” Dia masih menangis. Saya masih berusaha menenangkan nya. “ Yudha, Ka..!” “ Siapa tuh?” “ Mantan gue.” “ Emang elo pernah cerita, cing?” “ Please, jangan bercanda deh. Gue sakit hati banget nih!” Saya membelai – belai rambutnya dan berusaha menenangkannya. Bergumam, ‘ duh, Ke, gue lupa. Yudha itu siapa!’ “ Gue kira selama ini, itu cowok baik sama gue. Ternyata... Buaya..!” Saya masih mendengarkan ceritanya. ‘ Oh Yudha itu cowok!’. Saya melepaskan pelukan dan menepuk – nepuk pundaknya. “ Sabar, Ke!” “ Gue kaget banget pas tadi gue telpon dia trus dia bilang kalau dia lagi jalan di Bekasi Square sama mantannya yang pernah berantem sama gue. Padahal semalam Yudha tuh ngajak gue balikan lagi!” ujar nya panjang lebar. Saya mengangguk – angguk. Geleng – geleng. Angguk – geleng – angguk – geleng. “ Gue harus gimana, Ka?” “ Lupain ajah. Udah tau kan dia brengsek! Hapus aja nomer handphonenya di hape lo!” Dia terdiam. Kenapa? Apakah gue salah memberikan masukan? Gue selalu mengingat pesan teman baik gue untuk melupakan orang yang pernah sakitin hati kita. Apakah dia sedang berpikir sesuatu bagaimana caranya untuk membunuh pria tersebut? Tiba – tiba terdengar suara motor yang lewat di ujung gang rumah gue. Lalu berhenti. Tampak seorang cowok yang memakai helm turun lalu bertanya kepada kami. Saya tak bisa melihat mukanya dengan jelas. Gelap. “ Eh, cewek! Tau jalan mau ke Cileungsi nggak?” Gue dan Ikke salain tatap. Cowok yang aneh. “ Elo nggak salah nanya?” tanya saya padanya sambil memicingkan mata ingin melihat siapa gerangan mereka. “ Jauh kali, kalau mau ke Cileungsi. Butuh dua hari dua malam.” Lanjut saya. Cowok itu cekikikan. Ikke masih terisak. Matanya bengkak. Kita kembali pada cerita pedih dan perihnya Ikke. “ Apa gue harus ketemu sama mantannya itu, ya? Gue tahu kok, Ka, rumahnya! Elo anterin gue, ya!” Gue tersentak. ‘Anterin gue?’ malam- malam gini. Males ah. Saya belum mandi, cuci piring belum selesai, rambut masih acak – acakkan. “ Duh, gimana ya?” “ Please...!! Gue harus tahu apakah tuh cewek balikan lagi apa nggak sama Yudha. Kalau mereka memang pacaran lagi, Fine, gue nggak bakalan ganggu mereka.” Mohon perempuan berambut pendek itu. “ Eh, cewek, boleh kenalan nggak?” Tiba – tiba cowok yang nggak jelas datang dari planet antah berantah itu kembali bersuara. Dan pertanyaan nya itu....GUBBRRAAKKK!! Nggak jelas banget. Maghrib buta gini ngajakin cewek kenalan. Meledaklah lagi Bom Bali ke empat. “ Itu siapa sih, cing? Temen lo? Apa Yudha?” tanya gue. “ Nggak tau!” jawabnya pendek. “Heh, elo sini dong kalau mau kenalan sama cewek. Nggak gentleman banget sih?” tantang Ikke dalam keadaan masih terisak – isak. Cowok itu berusaha untuk mendekati kami. Tapi langkahnya maju mundur. Tapi akhirnya ia kalah sebelum berperang. Nggak jadi kenalan. Rugi tuh cowok nggak jadi kenalan sama saya. Hehehe.. Ikke kembali menjadi – jadi. Perasaannya masih labil. Naik turun. Turun naik. Kadang nangis nya reda eh tiba – tiba deras lagi. Seperti hujan, ya! Lalu saya kembali memeluknya. Kasihan banget sih, perempuan yang penuh akan dosa ini. Kisah percintaannya begitu tragis dan memilukan. Saya sungguh tersentuh. Cowok yang nggak jelas itu ternyata masih berada di ujung gang rumah saya. Entah sedang mengintip atau menunggu seseorang. Saat mereka melihat kami yang sedang berpelukan ria, mereka langsung berujar, “ Lesbian, ya!” Arrgghhh.... Kampret bener!! Apa sih maunya pria itu?? Sungguh tak bertanggung jawab dan tak berperikemanusiaan. Dasar Makhluk Planet! Saya melepaskan pelukan lagi. Takut nanti malah dikira homo kan gawat. Jangan sampai terjadi. “ Ka, please, anterin gue ke rumah cewek itu! Deket kok!” “ Wah, cing, cucian piring gue belum kelar!” saya berusaha mencari alasan. Sebenarnya saya bukanlah seorang wanita antagonis yang terbesit di pikiran kalian. Tapi kalau mau dibilang males banget ya males. Gue paling nggak mau ikut campur dalam urusan kehidupan percintaan orang lain. Ribet banget. Apalagi harus terjun langsung ke medan tragedi suatu permasalahan. Beeeehh.... Puyeng cing! Parah parah parah. “ Nanti gue yang ganti nyuciin deh!” ujarnya. “ Elo nggak ngeliat apa tadi motor gue abis di cuciin sama adik gue. Kan kasihan kalau harus mencucinya lagi sampai dua kali gitu. Dia itu masih anak- anak yang sedang tumbuh menjadi remaja. Apakau tidak peduli akan masa depannya?” alasan saya tambah aneh. “ Nanti gue cuciin deh!” jawabnya lagi “ Gue juga belum sikat kamar mandi, Ke! Gimana dong? Apa lo juga mau bersihin juga? Hayo?” Dia diam. Kenapa diam? “ Elo mau nggak sih nemenin gue?” tanya dia terisak – isak. Sebenarnya saya takut dia akan menangis darah disini. Saya takut dia akan menggelapar – gelepar di depan rumah saya lalu orang – orang sekampung akan datang kesini dan meramaikan suasana disini. Lalu saya memutuskan untuk berkata, “ Nggak deh cing lain kali aja!” “ Lo kasihan apa sama gue?” Saya menggaruk kepala saya yang tidak gatal ini. Perempuan belia itu memeluk saya. Terdengar kejauhan suara pria yang tadi ingin berkenalan itu. “ Itu lesbi ya?” Saya kaget mendengar hal itu. ‘ anjritt tuh orang ngatain gue lesbi’. Asal kalian tahu saja, sebelumnya saya pernah dicilang homo sama tukang ojek. Dan setelah itu entah mengapa gue benci banget sama tukang ojek. Mulutnya kayak tetangga dan ibu – ibu gossip di perumahan. Pedes banget. Balik lagi ke persoalan tangis mengangis tadi. Ikke yang masih terisak – isak itu tak tau lagi harus berkata apa maupun berbuat sesuatu. Kami memilih untuk diam tanpa kata. Hehhe.. D’ masiv banget ya. Huueekkk...!! Saya suruh dia pulang agar mereningi nasibnya. Menyuruhnya untuk melupakan semuanya. Shalat dan berdoa pada yang kuasa agar dia mendapat hidayah dari sang Maha Kuasa. Memang terdengar sadis, tapi hanya itu yang bisa saya lakukan. Terima kasih.
Dia panik saat mulai melangkah Akan terus berjalan tapi kehilangan nyawa Terus berdoa agar terlindungi yang Maha Esa Tak indah terkirim dari fatamorgana Terasa miris dan perih saat malam belum nyata Hanya termenung menunggu pesan dari Firdaus sana Merangkak mencari kutub diantara siang terik Dia girang saat langit mulai kelam Awan – awan berkumpul menyatukan udara Mendongak, menengadah dan berdoa Agar titik air mendinginkan kepala Angin bertiup keras meniupkan rambutnya Yang berdesir bersama air dari langit Akhirnya, ia tersenyum sengit Bersiap melangkah dan tak takut akan suasana Berpikir kontras dengan lain manusia Kuyup merekat daripada panas tersengat
Sebenarnya ini adalah cerita teman saya di kampus. Hari pertama ketemu di kampus setelah sekian lama tak bersua karena liburan, saya sempat aneh dengan wajah nya yang penuh dengan jerawat. Hampir saja saya tak mengenalinya. Saya kira dia gadis penjual jerawat. Hahahha….
Dia menceritakan kejadian mengapa sampai tercipta jerawat di wajahnya tersebut. Dia bilang, ” Iya nih, Ka. Gara - gara gue makan kacang Brebes!”. Saya terpingkal - pingkal mendengar ceritanya. Tapi saya sempat aneh, dia beli dimana ya, kacang yang merknya Brebes itu. Sepengetahuan saya, yang namanya kacang itu diantaranya, kacang atom, kacang bawang, kacang mede, atau kacang panjang. Tapi saya belum pernah melihat, mendengar ataupun mencicipi si kacang Brebes ini. ” Tapi enak loh, Ka, nikmat banget! Baru coba sekali aja, udah ketagihan!” Waw… hebat sekali kacang Brebes ini!
” Emang beli dimana?” saya sekali lagi bertanya kepadanya. Rasa penasaran saya belum tuntas akan si kacang Brebes ini.
” Di kasih sama saudara gue.” Jawabnya sambil memegang - megang jerawatnya yang merah itu. Aduh… ngeri banget ngeliatnya. Saya geleng - geleng kepala melihat tingkahnya.
” Lagian kenapa dimakan? Kata lo kacang bikin jerawatan!” Tanya saya sotoy. Tapi menurut majalah yang saya baca, kacang itu nggak ada pengaruhnya akan timbulnya jerawat. Mungkin adanya jerawat itu di rumah sakit yang siap menolong kita saat kita sakit.
” Dibilangin dari tadi. Kacang nya tuh enak!” Dia berusaha menyakinkan saya.
Duh, emang susah deh manusia kalau ketemu yang enak - enak dan nikmat - nikmat. Nggak bakal mau lepas. Mau lagi….lagi…..lagi……
” Ya udah nggak usah dimakan lagi kacangnya.”
” Emang nih kacang Brebes. Si kacang nikmat pembawa bencana!”
Haha… Dasar perempuan itu. Emang banjir , pake bencana segala.
Ya, namanya juga mahasiswa, kadang hanya punya budget sedikit buat beli segala macam kebutuhan untuk kegiatan perkuliahan. Itu juga hasil tabungan menyisakan uang jajan setiap hari. Apa – apa maunya yang murah. Beli buku nggak pengen yang mahal – mahal, yang penting bisa di baca dan dipahami. Saya adalah salah satu dari mahasiswa tersebut. Setiap diminta dosen untuk mencari buku pegangan, saya baru akan membelinya. Kalau belum disuruh atau nggak disuruh juga nggak bakalan beli. Hhehee.. Setiap diminta untuk membeli buku, saya selalu pergi ke Kwitang di daerah Senen sana. Selain bisa menawar harga habis – habisan, saya bisa jalan – jalan keliling kota Jakarta. Dari harga Rp 75, 000 untuk sebuah buku, saya bisa dapatkan dengan harga Rp 20,000 dengan ngotot – ngototan dulu sama penjualnya. Nggak peduli mau dipelototin atau pun di cuekin, menawar harga sebuah buku dengan harga yang benar – benar terjangkau harus tetap dipertahankan. Seperti Minggu kemarin di pertengahan November, saya dan dua orang teman, pergi ke Kwitang untuk membeli buku Pengantar Filsafat dan Novel The Canterbury Tales di Plaza Indonesia. Untuk sampai ke daerah Senen, kami naik kereta Jabotabek dari Bekasi. Saya dan dua orang teman, Tice dan Fitri, janjian di depan loket kereta pukul 9. Saya terlambat 30 menit karena harus disuruh Ibu membeli tahu. Sebenarnya nggak penting banget alasannya, tapi, It is real. Dalam perjalanan, Tice menelpon dan menanyakan keberadaan saya. “ Heh, elo dimana?” tanya Tice agak kesal. “ Di mall, Ce, dikit lagi, sabar yak!” jawab saya. “ Cepetan, deh! Kereta nya tuh udah mau jalan!” “ Okeh!” Sesampainya di stasiun, saya mencari dua orang teman saya yang telah lama menunggu. Saya mengirimkan pesan ke Tice. Dmn, cing? Gw udh smp di stasiun. Dpn lokt Lalu Tice membalas pesan saya, Qt ada ddpn lokt dlm. Cari j 2 cwk cntk. Ah.. Berlebihan. Saya masuk ke dalam stasiun dan mencari dua cewek cantik itu. ‘ mana? nggak ada!’. Saya mendekati dua orang cewek yang mengenakan loss dress ungu dan satunya lagi memakai kerudung hitam dan memakai cardigan merah. Saya masih celingak – celinguk mencari dua cewek cantik itu. Cewek yang memakai loss dress ungu itu menyapa saya. “ Heh, Ika! Ngapain sih lo?” “ Lagi nyari dua cewek cantik!” “ KITA KALEEE....!!” ujar dua cewek itu serentak. Dan ternyata mereka itu adalah Tice dan Fitri. Hahahah...! “ Najis, lo!” sindir saya acuh tak acuh. Lalu duduk disamping mereka. “ Udah beli tiket belon?” “ Belum.” Jawab Tice pendek. “ Beeeh...katanya keretanya mau jalan!” “ Biar elo cepetan. Ya udah yuk kita beli aja sekarang!” Tice beranjak dari tempat duduk nya dan menuju ke loket. Saya dan Fitri mengikutinya. Di depan loket tertera angka 10 : 28. Apakah itu berarti keretanya akan berangkat pukul 10 : 28 ? Padahal jam tangan orange yang saya kenakan ini baru menunjukkan pukul 09 : 45! Damn! Kami menuju ke peron dan duduk di kursi panjang sambil menunggu kereta yang akan membawa kami ke Senen. Kami hanya memperhatikan lalu lalang calon penumpang lainnya, pedagang – pedagang yang menjajakan dagangannya, dan pengemis – pengemis yang setiap menit meminta uang kepada kami. “ Siapa sih, yang nyaranin buat dateng jam 9?” tanya saya sambil menatap nanar ke depan. “ Si Fitri tuh!” “ Ya udah lah..! Gue kan nggak mau ketinggalan kereta, cing!” jawab Fitri tanpa mau disalahkan. “ Iya aja deh!” ujar saya mengalah. Hening. Tanpa suara yang kami keluarkan. Hanya suara bisingnya kereta yang melewati Stasiun Bekasi tanpa berhenti. Saya memperhatikan seorang wanita setengah baya yang berdandan nyetrik. Dia memakai kemeja dengan motif bunga warna – warni dengan legging hitam dan dengan motif kotak-kotak putih. Tak indah sekali. Rambutnya keriting panjang seperti model rambut zaman Meriam Belina di film catatan si Boy. High heels hitamnya bikin gue jadi khawatir akan keselamatan hidupnya. Mudah-mudahan saja dia dapat tempat duduk di kereta yang akan dia naiki nanti. Kalau tidak, wah, pasti pegel banget kakinya. Duh, ribet banget hidup ini! Thanks God, kereta yang kami tunggu akhirnya tiba. Semua penumpang berebut menaiki kereta dan mencari tempat duduk yang kosong agar tak berdiri terpaku saat di perjalanan. Saya langsung menempati tempat duduk yang kosong. Untungnya muat untuk bertiga. Kereta mulai berjalan menuju Kota. Sesampainya di Stasiun Senen, kereta berhenti dan kami bertiga pun turun. Pasar Senen menjadi tujuan tak terduga kami untuk membeli baju lima ribuan. Diiringi panas terik matahari, kami menaiki tangga pasar menuju pedagang yang menjual baju – baju tak baru lagi itu. Fitri antusias sekali melihat kaos – kaos tersebut yang begitu murah. Dia membeli dua buah kaos abu – abu. Saya yang sedang tak bersemangat untuk membeli baju hari itu hanya membantunya. Keluar dari pasar, kami menuju ke kios pedagang buku – buku dekat terminal Senen. Ini adalah tujuan kami yang tak terduga lagi karena sebelumnya kami berencana untuk ke Kwitang tapi nggak jadi lagi deh, soalnya jarak dari Pasar Senen ke Kwitang itu cukup jauh dan melelahkan jika harus berjalan kaki. Jadi, kami memilih tempat yang terjangkau saja karena hari sudah siang dan belum melanjutkan perjalanan kami selanjutnya menuju Plaza Indonesia. Saat melihat – lihat buku, para pedagang sudah memanggil – manggil dan bertanya – tanya kepada kami, “ Neng...Neng..Sini..Sini.. Cari buku apa?” Saya berhenti di salah satu tempat pejualan buku murah itu. Lalu bertanya apakah penjual itu menjual buku. Tentu saja jawabnya ‘iya’. Tapi ketika saya bertanya lagi apakah ia menjual buku Pengantar Filsafat, ternyata ‘tidak’ jawabannya. Brengsek! Saya beralih ke toko lain dan menanyakan hal yang sama. Tapi kali ini pertanyaan saya yang kedua menghasilkan jawaban yang sungguh menyesakkan dada. “ Ada, delapan puluh ribu, deh!” “ Apa? Busyet! Mahal amat, Bang! Lima belas ribu, ya!” “ Lima belas ribu? Nggak deh! Bukunya tebel loh!” “ Boleh liat dulu nggak?” “ Mau nggak?” “ Mau. Mau. Tapi Lima belas ribu, ya!” “ Nggak bisa deh!” Saya berusaha lebih giat lagi untuk mendapatkan buku tersebut. Bagaimana pun caranya. Kalau sampai saya tak mendapatkannya, masih ada Tice yang bisa mengeluarkan jurus pamer paha. Siapa tau penjual buku tersebut bersedia memberikan harga lima belas ribu untuk buku Pengantar Filsafat itu. Hehehhe... Saya menyerah. Penjual – penjual yang pelit. Masa’ untuk sebuah buku yang hanya berisi 500 halaman bisa dihargai delapan puluh ribu? Kelewatan! Saya kembali pada penjual buku pertama. Dia masih ngotot dengan harga yang menjulang tinggi itu. Akhirnya saya menaikkan harga tawaran. “ Ya udah deh, Dua puluh ribu, Bang!” “ Dua lima deh ambil!” ‘Saya boleh ambil dua puluh lima buku? Banyak sekali! Satu saja, Bang!’ gumam saya dalam hati. “ Dua puluh ribu aja, bang!” “ Ya udah nih!” Saya tertawa penuh kemenangan. Buku ditangan, selembar uang dua puluh ribuan saya berikan ke penjual buku ngehe’ itu. “ Thanks ya, Bang!” Kami lekas menuju busway shelter Central Senen. Membeli tiket menuju blok M dan nanti turun di Plaza Indonesia. Saat menaiki jembatan penyebrangan menuju antrian arah blok M, terlihat antrian sudah cukup panjang. Kami berhadapan langsung dengan Mulia Theatre. Nampak di situ terpampang poster – poster film yang di putar di bioskop tersebut. Ada salah satu film yang menarik perhatian kami. Kalau tidak salah berjudul, ‘ Kalau Mau, Masukin Aja. Besar Kecil It’s Ok’. Banyak pikiran –pikiran tak menentu bergejolak dan teracak – acak dalam kepala kami. Film jenis apakah itu? Ya sudahlah biarkan saja. Eh..Eh.. Tapi kayaknya mantap tuh film! Nonton nggak ya? Saya berada dalam busway yang penuh sesak. Buat pegangan aja nggak ada celah. Tice berpegangan ke saya. Dia hampir tak terlihat di bis yang penuh akan penumpang ini. Maklum, dia itu ‘kecil’ saya takut dia terinjak – injak penumpang lainnya. Makanya, Ce, rajin – rajinlah makan – makanan yang bergizi! Kami tiba di Harmoni untuk transit menuju Blok M. Lagi lagi harus ngantri. Udah capek, lepek, basah ketek, bengek.... Setelah mengantri untuk beberapa menit, saya akhirnya berada di busway yang alhamdulillah tidak begitu sesak seperti yang sebelumnya. Saya dan teman – teman masih bisa saling bersenda gurau. Busway berhenti di Bundaran Hotel Indonesia. Saya bertanya pada penjaga pintu buswaynya. Hehhee... Untung saja bukan penjaga pintu neraka ya. “ Mas, kalau mau ke Plaza Indonesia turun dimana? Disini ya?” “ Iya disini. Ayo cepet kalau mau turun!” “ Cing, turun!” ujar saya setengah teriak saat sudah menginjakkan kaki di shelter Bundarah H.I. tersebut. “ Sialan, lo! Kalau mau turun bilang – bilang dong! Kalau gue ketinggalan, gimana?” gusar Tice. “ Lah, tadi kan gue udah bilang!” sergah saya “ Telat, njing!” “ Sorry!” Kami menaiki jembatan penyebrangan menuju Plaza Indonesia. Kami sempat ingin mengambil gambar dengan background Wisma Nusantara dan Hotel Nikko tapi keinginan itu sirna. Saat mau berpose, ada dua orang bule Jepang melewati kami. Dan kesempatan itu pun tak kami dapatkan kembali. Ketika kami melihat bacaan ‘PLAZA INDONESIA’ di tembok sebuah gedung, kami berasumsi bahwa itu adalah Plaza Indonesia. Kami langsung memasukinya. Tapi... “ Ini bener pintu masuknya, cing?” tanya Fitri. “ Udahlah masuk, Chill aja, cing!” jawab saya sok tahu. Didepan pintu masuk terdapat seorang satpam muda dengan seragam biru. Dia memeriksa tas kami. Dia tersenyum kecut. Entah apa maksudnya. Kenapa? Baru lihat orang kayak kita masuk Plaza mewah ini, ya? Tapi kita cantik kan? Maaf ya, Mas, kalau sedikit norak. Baru pertama kali, sih! Akhirnya kita didalam Plaza Indonesia. Wah... It is Awesome! Beda banget sama Mall Metropolitan! Hehehee... What a great Plaza! Kami memeragakan gaya gadis desa yang baru tiba di kota. “ By the way, satpam tadi ganteng, ya! Satpamnya aja ganteng, gimana yang lainnya?” ujar Tice sambil menoleh kebelakang melihat satpam tadi. “ Kinokuniya nya dimana, cing?” tanya saya ketika berjalan melewati sebuah butik ternama dan bermerk. “ Perasaan pada toko baju semua ini.” “ Ya udah sih, cari aja!” Kami duduk di sofa panjang di bawah eskalator lantai 2. Adem beneeeerrrr....!! Bule – bule bejalan melewati kami. Mereka sibuk berkeliling mencari keperluan mereka atau sekedar window shopping. Sambil beristirahat sejenak, kami masih sempat bersenda gurau dan lupa kalau harus membeli sebuah novel. Lalu tiba – tiba Fitri berceletuk,” Bule, cing! Field trip ( tugas kami sebelum mengikuti UAS, make a conversation with foreigner), yuk!” “ Sana elo aja, gih! Nggak tepat waktu dan tempatnya.” Ujar saya sambil membetulkan tali sepatu yang agak kendur. “ Kita cari, yuk toko bukunya! Eh, gue sms pak Endang aja, deh!Nanya di lantai berapa toko bukunya.” usul saya lalu beranjak dari sofa tersebut. “ Ke toilet dulu, yuk!” ajak Tice. Kami menuju toilet dengan bantuan direction way. Toilet itu berada di paling pojok. Tapi ternyata hanya toilet laki – laki. “ Toilet cewek nya dimana, mas?” tanya saya pada seorang penjaga toilet pria tersebut yang berpakaian sangat rapi. Dia menunjuk sebelah kirinya. Dan ternyata voiilllaa.... toilet wanita! Saya merapihkan rambut di depan kaca. Tice menaburkan bedak di wajahnya dan memakai parfum yang enggak banget deh baunya. Cewek banget. Saya mencuci tangan di wastafel yang ada di belakang saya. Dan sebenarnya saya malu untuk menceritakannya pada dunia karena saya tak bisa menggunakan kerannya!! Bodoh! Padahal tangan saya sudah penuh sabun. Saya pencet, putar, tekan, tarik atau apalah, air nya tidak sama sekali mau keluar. Lalu ada seorang wanita keturunan tiong-hoa masuk mencuci tangan disebelah saya dan dia berhasil menggunakan wastafel itu dengan baik. Aduh... mampus deh, sabun di tangan saya ini mau dikemanain??? Fitri yang sedang berada di kamar buang air kecil lalu memanggil saya. Saya masuk kesana dan bertanya ada apa gerangan. Apa dia mau menunjukkan sesuatu? “ Ka, gue kan udah selesai pipis, trus siramnya gimana nih? Dipencet tombol ini, ya?” tanyanya bingung. Kasihan sekali gadis itu. “ Ya udah, pencet aja!” usul saya. Dan berhasil! Yeaasshh!! Spontan kami tertawa. Entah menertawakan apa. Mungkin menertawakan kenorak’an kami atau memang kita ingin tertawa saja karena meratapi nasib baru pertama kali ke Plaza Indonesia. Terserah lah! “ Cepetan keluar dari tempat ini!” ujar saya. Kami beranjak dari toilet itu dan bergegas ke lantai atas tempat buku itu dijual. Akhirnya kami menemukan toko buku itu. Kinokuniya namanya. Langsung saja kami mencari The Canterbury Tales tapi, tunggu.... Covernya beda, buku ini hijau dan hanya tertera judul dan penerbitnya saja. Kemana gambarnya? Kok tak seperti yang ditunjukkan oleh Dosen saya? Kenapa harganya lebih mahal?? Saya bertanya pada kasir mengapa buku ini menjadi seperti ini. Adakah buku dalam versi lain? Ternyata tidak ada. Akhirnya kami membelinya dengan harga 55.000 rupiah dengan cara patungan. Saya tidak jadi membelinya karena saya pikir harganya 30.000 rupiah seperti punya dosen saya yang harganya saya lihat dibagian belakang buku. Huh! Keluar dari Plaza Indonesia, kami menunggu bis di halte depan Hotel Hyatt. Sebenarnya sih, nunggu saudaranya Tice dulu, tapi lama banget datangnya, saya sudah kelaparan dan tak ada yang berani bertanggung jawab atas kosongnya perut ini. Fitri mengajak saya untuk berfoto bersama. Tampak seorang lelaki yang duduk agak jauh dari kami terlalu memperhatikan dengan seksama. Rambutnya gondrong, tatapannya tajam, sadis dan menyeramkan. “ Eh, lihat arah jam tiga deh, cowok itu lihatin siapa, sih?” bisik saya pada teman – teman. Dia tetap memperhatikan kami. Seperti ingin berbuat sesuatu dan kami menjadi curiga dan was – was. Saudara Tice datang dan betapa kagetnya saya dan Fitri karena tampangnya mirip preman. Seram banget. Tice mengajak saya ke Blok M untuk berkunjung ke rumah saudaranya itu. Saya menolak nya dengan alasan nggak mau pulang kesorean. Saya pamit pulang bersama fitri dan Tice beserta saudaranya mengikuti kami naik tangga penyebrangan. “ Elo emang mau kemana sih, Ce?” “ Gue nungguin elo naik bis dulu! Masa gue tinggalin elo begitu aja, sih?” Saya menunggu bis menuju ke Bekasi. Fitri membeli sebotol air mineral. Saya meneguknya sambil melihat sekeliling tapi alangkah kagetnya saya ketika melihat sesosok pria yang kami curigai itu ada di belakang saya. Anjrit! “ Cing, liat deh apa yang ada di belakang gue!” ujar saya ke Fitri. Fitri kaget. Dia menceritakannya kembali ke Tice lalu ke Saudaranya Tice ( maaf saya lupa namanya). “ Yaelah, gitu aja ditakutin. Tenang.. ada gue.Tuh, seisi Kopaja bisa aja gue suruh turun semuanya kalau elo mau.” Ujar pria itu dan berusaha menenangkan kami. “ Serius lo?” “ Lagian kenapa sih, curigaan kayak gitu?” ujarnya lagi. “ Asal lo tahu ya, dari tadi di halte, itu cowok udah ngeliatin gitu, cuma kita doang yang diliatin. Terus, tatapan nya itu loh, kayak tatapan mau nyopet atau ngerampok gitu. Eh, sekarang malah ada di belakang kita. Gimana orang nggak curiga coba?” Jelas saya agak berbisik. Tak disangka tak dinyana, pria gondrong yang kami curigai itu malah menyetop sebuah kopaja jurusan Ragunan – Blok M lalu dan berlalu dengan menumpang bus tersebut. Alhamdulillah... Sialan tuh orang. Bikin kaget aja. Tak berapa lama Bus yang kami tunggu datang. P 50 jurusan Tanah Abang – Bekasi. Kami naiki lalu mencari tempat duduk yang kosong tapi ternyata sudah penuh. Sang kondektur menyuruh kami untuk duduk di dashbor samping Pak Supir. Duh, pusing banget gue, duduk terbalik gini arahnya. “ Fit, do you feel something?” tanya gue ke Fitri yang sedang tertunduk. Mungkin ia sedang meratapi kejadian hari ini. “ Ia nih, Ka, pusing!” jawabnya pelan. Wajahnya terlihat pucat. Bus yang kami tumpangi ini melewati jalan tol. Saya berharap ada tukang obat keliling yang menjajakan dagangannya di bis ini. Tapi ternyata hanya ada tukang kacang goreng yang maksa gue buat beli kacangnya. Brengsek! Sesampainya kami di Bekasi, kami turun di Tol Bekasi Timur. Fitri dan Saya jalan menuju pos Polisi dekat tol menunggu angkot kedua yang akan ditumpangi Fitri lagi. Saya sudah menelepon rumah untuk meminta jemput. Fitri telah berlalu. Hanya saya disini. Saya duduk di bangku kosong disamping seorang wanita cantik dengan maskara tebal di bulu matanya. Dia terlihat gelisah. Begitu pun saya karena sudah menunggu 15 menit disini. Tiba – tiba... “ Dek, boleh minta pulsanya nggak?” tanya nya pada saya saat saya sedang membalas pesan seorang teman. Entah kenapa jantung saya bedegup kencang. Sangat kencang dan tiba – tiba. Bukan karena saya jatuh cinta pada wanita itu, tapi karena saya takut handphone saya dirampok. Karena barang satu – satunya ini yang paling kusayang dan ku rawat dengan sepenuh hati. “ buat apa, ya?” tanya saya agak gugup. “ Buat sms. Handphone saya dua – duanya lowbat. Boleh ganti simcard nggak?” jawab dia agak memelas. Saya memperhatikannya sambil membuat keputusan apakah saya harus menukar handphone ini atau tidak. Saya lihat handphonenya N-73 kalau handphone saya diambil berarti handphone canggih ini akan berada ditangan saya. Biarlah handphone yang tak begitu mahal itu dirampasnya. Saya mau ambil gambar dari kamera aja susahnya bukan main. Tapi saya berpikir lain. “ Gini aja deh, nomer handphonenya sebutin nanti saya yang sms aja.!” “ Ya udah deh.” Lalu dia menyebutkan nomor handphone yang akan dia kirimi pesan. “ Bilang, udah di pos polisi!” Saya mengetiknya dengan cepat. Lalu mengirimkannya. Terkirim. “ Udah nih!” “ Thanks ya, mau di ganti nggak pulsanya?” “ Nggak usah. Nggak apa – apa kok!” Lalu ayah saya datang dan saya buru – buru pergi dari tempat itu. Anjrit! Ada apa dengan hari ini? Untung aja happy ending nih ceritanya. Kalau nggak, berarti Tuhan punya rencana lain untuk saya. Thanks God you save me today.
Saat – saat yang ditunggu telah datang. Di hari terakhir bulan Oktober, saya berangkat menuju daerah Cisarua, Puncak, untuk mengadakan English Hive yang diadakan oleh pihak jurusan di kampus. Sebuah acara perkenalan jurusan sastra inggris di fakultas kami. Perjalan dari Bekasi sampai Puncak tak begitu menguras tenaga karena kami mencapai tempat yang dituju dengan bus. Saya duduk di dekat jendela agar bisa melihat lalu lalangnya kendaraan di pagi hari dan juga saya tak ingin melewatkan pemandangan yang begitu menakjubkan. Sesampainya disana, saya dan teman - teman turun dari bis dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju villa dimana kami menginap sejauh...sejauh...sejauh..wah pokoknya jauh banget deh. Tulang punggung saya hampir retak karena membawa ransel yang berisi segala macam barang bawaan. Bus yang kami tumpangi nggak bisa memasuki jalan yang berliku, berbatu dan menanjak. Lagipula bus nya terlalu besar jadi jalanannya nggak muat, hehehe... Tiba di villa, waktu telah menunjukkan pukul dua belas. Saya merenggangkan otot – otot dan tulang - tulang yang tegang dan yang kaget karena menahan beban yang berat. Walaupun hari telah beranjak siang tetapi udara terasa menggigilkan badan. Out of blue,teman saya, Tice, langsung menghampiri saya ketika dia mendengar saya berteriak – teriak memanggil namanya. Dia sudah berada di villa itu sehari sebelumnya. Mau jagain villa, katanya. Dia langsung menceritakan semua kejadian yang terjadi ketika dia bermalam disini bersama kakak-kakak senior dan para dosen. Dia kegirangan saat bercerita tentang si kakak kelas yang kami idolakan. Sampai – sampai kami membuat perkumpulan illegal dengan nama ‘HF lovers’. “ Ka.. HF, Ka!” ujar Tice sambil menunjukkan muka pengen nya. “ Kenapa, cing? HF ketinggalan di Bekasi?” tanya saya sambil memijat – mijat kaki yang kaku. “ Masuk dulu, yuk!” ajak perempuan berbadan kecil itu. Sumpah seksi banget nih cewek, pake legging di udara pegunungan yang dingin kayak gini. Kami memasuki penginapan tersebut dan langsung menaiki tangga untuk menuju ke kamar di lantai atas. Villa ini cukup besar dan ada kolam renang di bagian belakang. What a great holiday! Saya meletakkan ransel di pojok ruangan agar tak terlihat berantakan. Saya dan tice menuju ke balkon untuk melihat pemandangan luar perbukitan, pegunungan dan hamparan sawah yang menakjubkan. Waw.. jarang nih saya lihat yang indah – indah seperti ini di Bekasi. Paling yang saya lihat mobil, truk, bus yang mengeluarkan asap knalpot hitam yang beracun dan gedung – gedung – gedung tak terawat. “ Oh, ya, tadi mau bilang apa tentang HF?” tanya saya. “ HF keren, Ka!” jawab Tice pendek. “ Nenek gue juga tahu kalau dia keren!” “ Dia tadi berenang, Ka! Uhh... sungguh mempesona!” Saya hanya menatap aneh ke arahnya. HF adalah senior saya di jurusan sastra Inggris. Sebenarnya sih kalau di lihat –lihat nggak ganteng – ganteng amat. Saya menyebutnya dengan inisial HF karena dia hampir mirip dengan vokalis grup band Goodnight Electric, Henry Foundation. Hanya saya yang menganggap dia mirip si vokalis band itu, HF lovers lainnya, mana kenal sama yang namanya band Goodnight Electric. Paling juga tahu nya ‘ Goodnight, Baby!’ yang selalu mereka ucapkan ke pacarnya setiap malam. Mereka hanya tahu dan merasakan bahwa si HF itu penuh dengan kharisma dan selalu membuat hati berbunga – bunga. Sebenarnya yang tahu bahwa kami, HF lovers, yang beranggotakan empat orang ini ( tice, fitri, iah, dan saya) mengidolakan pria itu,ya..hanya kami, sebagai HF lovers dan juga Tuhan. Karena kalau sampai satu jurusan tahu bahwa kami mengidolakannya, wah.. bahaya tujuh turunan! Malu abisss!! “ Ka.. tadi kan HF berenang!” tice melanjutkan menyampaikan informasi – informasinya. “ Oh, ya? Tadi kan elo udah bilang, cing! Six packs nggak??” “ Nggak!” jawabnya sambil tertawa. Keesokan harinya, saat pertunjukan drama akan digelar, saya mempersiapkan diri dengan kostum seperti peri. Tinker bell. Kami akan mempertunjukan drama dengan judul ‘What is neverland?’. Berbekal latihan selama dua minggu, saya berani tampil dengan busana wanita. Saya memakai legging hitam, baby doll merah, sayap kecil pink, dan ikat rambut berbulu dengan warna yang sama dengan sayapnya. Saya merasa aneh dengan penampilan seperti ini. Ketat banget. Tapi, bukan namanya Nona Ika kalau nggak percaya diri dengan apa yang dikenakannya. Menit menit berlalu, jantung saya berdegup keras. Saya dan teman – teman menuju kelantai satu untuk menuju ke halaman dimana pertunjukkan akan di gelar. Saya duduk di sofa dengan hati yang tak tenang. Ingin rasanya pulang ke Bekasi sekarang tapi saya rasa itu tak mungkin. HF lewat didepan saya. Aduh, tengsin banget nih! Saya menutup muka dengan sayap kecil yang belum saya kenakan. Salah seorang teman yang memerankan Kapten Hook langsung mengajak untuk mengabadikan moment ini. Kami berfoto bersama. Rasa hati ini agak tenang. “ Hayo...Hayo.. sekarang ada yang mau foto bersama Tinker Bell nggak?” saya mempromosikan diri. “ Satu kali photo, seribu, ya!” “ Murah amat!” celetuk ‘si Peterpan’ “ Biarin, bayar seribu aja belum tentu ada yang mau foto sama gue. Apalagi gue mematok harga yang lebih tinggi!” ujar saya sambil manyun. “ Alaahh.. Berlebihan!” “ Ayo.. ada yang mau nggak? Gue lagi cakep nih!” saya kembali mempromosikan diri dengan suara lantang khas penjual baju bekas di Senen. “ Kak ika.. Photo yuk!” “ Wahh... akhirnya..!!” saya menghela napas. Para pemain ‘what is Neverland?’ bersiap – siap menuju ‘pentas’. Saya semakin deg – degan. Saat saya menuju ke arah luar, saya berpapasan dengan dosen saya, Pak Endang. Dia melihat saya dengan tatapan aneh. “ Ika.. kamu jadi apa?? Kamu aneh banget!” ujarnya. “ Jadi tinker bell!” Dan dia tertawa terbahak – bahak. Dia mengambil handycam dan langsung mengarahkannya ke saya. Aduh.. malu banget! Saya menutupi muka dengan sayap. “ Percuma ditutupin juga! Masih kelihatan tau!” kata dosen berambut keriting itu. Swear deh, gue nge- per banget. Nge down saat itu juga. Apa gue benar – benar aneh? Ini kan tuntutan skenario. Nggak mungkin kan, Tinker Bell pake celana jeans? Tinker bell bukanlah seorang preman, kawan – kawan! “ Weird!” celetuk dosen saya lagi. Arrrrggghhhh.....! Saya melihat ke arah pukul 12 dan terlihat HF sedang duduk rapi menunggu pertunjukan dimulai. Saya semakin tak tenang. Saya menuju halaman berumput dan terdapat layar putih yang terpampang lebar. Emi, senior saya bertanya apakah saya sudah siap atau belum dan saya menjawab belum. “ Gue nge down, mi! Duh, gue nggak jadi tampil ya, perut gue mules nih. Eh, gue yang megangin layar aja, ya...” Saya memberikan sejuta alasan ke Emi. Dan saya menyadari kalau wajah Emi berubah drastis. Dia terlihat kesal. “ Elo, tampil sekarang! Nggak usah macem – macem deh!” Ujarnya sambil mengusir saya dari hadapannya. Saya dan teman – teman pemain drama menuju ke belakang layar ketika nama kelompok kami, kelompok dua, di panggil. Tepuk tangan bergemuruh dan terdengar di seluruh daerah Cisarua. Saya mulai berdoa dan berharap tak akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Si peterpan sudah tampil dan memanggil Tinker bell karena dia memerlukan peri ini. Saya menuju ke hadapan penonton sambil seolah – olah terbang dengan kepakan sayap kecil khas peri. Dengan senyum terpaksa yang tersungging di bibir ini, saya mengitari pentas sebelum berdialog dengan Peterpan. Saya mendengar gelak tawa penonton. Entah mereka menertawakan apa dan siapa. Saya sudah siap jika mereka akan menertawakan saya. I don’t care. Pokoknya Hidup HF Lovers, lah!Ah.. nggak nyambung! Drama yang kami mainkan ini hampir selesai. Saatnya berbaris berjajar untuk menyanyikan sebuah lagu. Bukan lagu cinta ataupun lagu putus cinta. Tetapi sebuah lagu ‘ We are Himatrisians’ jingle jurusan kami. Saya dan teman-teman dan juga penonton menyanyikan lagu bersama – sama. Saya melihat para ‘aktor’ dan ‘aktris’ di samping saya tak bergerak sedikitpun saat menyanyikan lagu ini. Padahal lagu ini adalah lagu semangat. ‘ ..We shake the sky, we tremble the ground...’. Ah.. nggak seru lo semua! Karena kecintaan saya terhadap band NIDJI, akhirnya saya menggerakkan badan saya ala Giring. Iah, yang berada disamping saya terheran – heran melihat tingkah saya. “ Heh, elo tuh ngapain sih?” “ Ssttt.. Udah nyanyi aja!” jawab saya. Drama berakhir. Penonton membubarkan diri. Pak Endang, diceburkan ke kolam renang. Hahaaa.. akhirnya Tuhan membalas segala perbuatannya! Basah kuyup. Ternyata semua dosen yang ikut ke Puncak di ceburkan ke kolam. Mereka ada 5 dosen. Pak Rido, dosen listening, menceburkan dirinya sendiri karena tak mau di bopong orang – orang. Bagus lah, dosen yang punya inisiatif tinggi! Lalu, Miss Lusi, hampir tenggelam karena tak tahu bahwa ia diceburkan di kolam dengan kedalaman 2 meter. Sungguh sadis! Untungnya Pak Endang langsung mengulurkan tangan membantunya naik ke permukaan. Miss Maria ini lain lagi, dia adalah dosen yang ‘besar’. Kita harus berpikir sejuta kali lagi dan butuh seribu orang untuk menceburkannya. Tapi saya bisa untuk mendorongnya. Saya bisa mendorong semangatnya untuk masuk ke kolam renang. Finally, orang – orang bisa mengangkatnya dan menceburkannya ke kolam renang. Hebat! Mari kita beri tepuk tangan yang meriah. Betapa malangnya Miss Tien yang harus pingsan beberapa menit karena tenggelam. Dia shock lantaran nggak bisa berenang. Poor her! Sehabis tragedi kolam renang itu, saya dan yang lainnya harus membereskan perlengkapan untuk dibawa pulang lagi karena kami akan kembali ke Bekasi dan mulai lagi untuk kegiatan – kegiatan monoton. Selesai membereskan barang bawaan, saya pergi ke balkon untuk melihat pemandangan untuk yang terakhir kalinya. Saya mendengar suara – suara berisik dari arah bawah. Wah.. ada HF! Saya memperhatikannya. Dia melihat keatas, saya terperanjat. Tapi, saya langsung bertanya pada dirinya tentang penampilan saya dalam drama tadi. “ Kak, gimana aku tadi? Bagus nggak?” tanya saya dan mengharapkan jawaban yang enak didengar. Dia mengacungkan ibu jarinya sambil tersenyum menunjukkan lesung pipi nya. Saya pun ikut tersenyum. “ Thanks ya, Kak!” lalu kembali melihat pemandangan sambil bersungut – sungut. ‘ah, nggak puas! Mana jawabannya? Masa gue dikasih jempol doang?’ Pukul tiga sore saatnya pulang. Kami kembali berjalan menuju tempat bis menjemput kami. Duh, badan saya pegal – pegal.Mungkin gara – gara berenang kemarin tapi nggak pemanasan dulu. Abis diceburin sama senior saya, sih! Ngehe’ emang tuh! Saya dan Tice berjalan beriringan.Duh, tuh cewek jalannya cepet banget lagi! “ Ce, tungguin gue kenapa?Bawain ransel gue kek gitu!” “ Ahah, semangat dong, Ka! Lemes banget sih lo!” ujarnya. “ Berat banget, cing!” “ Sini, Ka! Mau gue bawain ranselnya, nggak?” tanya Roni teman saya. Saya heran mengapa pria ini berubah menjadi baik hati dan ramah sekali. Biasanya tak seperti ini. “ No, thanks!” “ Kak Roni, bawain tas aku aja nih!” ujar salah seorang gadis berambut panjang angkatan 2008.Saya lupa siapa namanya. Pokoknya, rambutnya panjang lah. “ Boleh, boleh! Sampe mana?” tanya Roni sumringah. “ Sampe bis, deh!” “ Sepuluh ribu, ya!” “ APPAAA???!! Pake bayar? Dasar! Kebaikan hati yang terselubung! Aku kira Kak Roni baik orangnya. Ternyata... Tak kusangka!” ujar gadis itu sambil merebut kembali tas miliknya. “ Lagian sih! Emang elo nggak pernah ketemu Roni di Stasiun Senen, ya? Dia kan jadi tukang angkut barang calon penumpang. Udah sih, bawa aja tas lo sendiri, manja amat!” ujar saya agak kesal. Sayangnya pria yang telah mengadu domba kami itu sudah berjalan jauh di depan kami. Kalau masih di depan saya, saya gebukin sampai tak bernapas lagi! Hehehe.. Bercanda! Di bis, saya, Tice dan Fitri duduk bersama. Udara dingin terasa sampai menusuk tulang. Embun mulai menampakkan dirinya. Rintik – rintik hujan seolah mewarnai detik –detik terakhir kami meninggalkan Cisarua. Handphone berkamera milik Fitri kembali menangkap pose – pose aneh kami. Dari tersenyum manis sampai raut muka bosan karena bis yang kami tumpangi tak kunjung bergerak menyelusuri jalan Cisarua untuk kembali ke Bekasi. Macet, cing! Akhirnya, bis berjalan menyusuri jalan Cisarua yang basah. Sepuluh menit berada dalam perjalanan, kami tertidur kelelahan. Saat terbangun, kami kelaparan. “Ce, gue laper nih!” bisik saya sambil memegangi perut. “ Duh, pusing gue! Elo masih punya makanan nggak, fit?” tanya Tice ke Fitri. Mukanya berubah pucat. Saat itu saya melihat teman saya, Siro, yang bernama lengkap Siti Robbayani ini memegangi seplastik kue. Tapi dia tak melihat kami yang sudah kurus kering tak kena makanan. “ Siro, minta dong!” pinta saya. Dia tak menoleh. Tetap bersenda gurau dengan teman – teman lainnya. “ Ce, kagak nengok!” “ WOIII... SIRO!!!” teriak Tice sampai orang yang duduk di depan kami terbangun dari tidurnya. Siro tetap menghiraukan teriakkan super ala Tice.Mungkin suara Tice tak terdengar oleh Siro karena bisingnya suara mesin di bis ini. “ Anjrit nih!” “ Minta aja sama Rima, Ce!” usul Fitri. “ Minta aja sono. Gue doa’in biar dikasih! Ampe tua juga nggak bakalan dikasih.” Tice mulai kesal dengan kejadian itu. “ Gue laper banget, cing!” “ Kita ini dimana sih?” tanya saya sambil celingak – celinguk melihat luar jendela. Yang ada hanya mobil, truk, jalan beraspal dan air hujan. “ Duh, tukang Mie Ayam dimana, sih? Turun yuk!” “ Hah, canda lo, ya? Mana ada tukang Mie Ayam di jalan tol?” ujar Tice sinis. “ Ya ada lah! Tukang Mie Ayam yang stres karena dagangannya nggak laku trus dia berusaha untuk bunuh diri dengan menabrakkan dirinya di jalan tol ini, gitu!” “ Arrgghh... ee’ lo! Tambah laper gue!” Tiba – tiba Siro datang membawa biskuit dan memberikannya kepada kami. “ Eh, elo mau nggak? Laper ya? Diem aja!” “ anjing..anjing..anjing!!” gumam kami serentak. “ Thanks ya, Siro, baik banget!” ujar Fitri agak menyindir. Si Siti Robbayani itu pun meninggalkan kami menuju ke tempat duduknya. Pukul 7 malam bis kami tiba di kampus. Saya mengirim pesan ke pacar saya untuk minta diantar pulang. Tadinya sempat ragu untuk meminta tolong, karena dia sedang ada acara di kampus untuk menjadi LO Monster of Rock. Ya, siapa tahu dia punya waktu luang. Upu, bisa anterin Ca plg g? Lalu pesan saya dibalas Bisa deh, lgi nyantai nih!Udh nympe kmps,y? Saya mengirimkan pesan lagi Y udh. Q tnggu di UPCM, ya. 10 menit saya menunggu. Begitu lama. Padahal acaranya ada di lapangan belakang kampus. Kayaknya ada yang tidak beres, nih!Tiba – tiba handphone saya berbunyi tanda menerima pesan. Ca, upu g bs ngnter, Q mw jmpt artis. Mav ya! APPAAA...!!! Kesal banget. Saya kan sudah lama tak bertemu dia. Sibuk banget apa, ya! Akhirnya saya mengirimkan pesan ke adik saya. Jmpt dong di kmps! CEPET! Lalu, adik saya datang dan kami langsung tancap gas untuk pulang kerumah. Badan saya terasa sakit semua. Sampai di rumah, saya langsung membereskan semua barang bawaan lalu mandi dan siap – siap tidur. Ketika hendak mandi, saya mencari handuk yang saya bawa ke puncak. Di dalam tas tidak ada, di lemari apalagi. Waduh, bahaya nih, bakalan nggak pake handuk abis mandi. Lalu saya mengingat semua kembali saat saya berada dipuncak. Dan ternyata... Arrrgghhh... HANDUK SAYA KETINGGALAN DI VILLA..!!!!
I got a writing assignment from my lecturer. The topic is about ‘ what is your wildest dream?’ At first, I didn’t get my lecturer’s point. Wildest dream. Is there any kind of dream such as, wildest dream? Have you ever had that dream? Two days ago, I got an idea about how to develop this topic. I got the idea from the magazine, which my friend read when I visited to his house. Actually, I was disgusting of the magazine. It was a man magazine. I didn’t know where he got it. But, when I saw its cover, the picture of a sexy woman there. I thought for a while. I’ve got an idea about this dream. Yeah, I think I would like to be a model. Man magazine’s model. Wow.. !! Can you imagine that?
I think it’s not so difficult to be a model nowadays. We just have to participate in an audition after that if you have a beautiful face and you are slim, you will win! I realize that I am beautiful enough to be a model especially, man magazine’s model. When I saw my friend’s magazine, the women have their own sensation because the men love to read this kind of magazine. I prefer be a man magazine’s model than be a woman magazine’s model because the reader is not only men but also women so I can be a famous girl. My fame is not only from my existence in magazine but also the controversy. The news about me is everywhere. The infotainment interview me and I am on television. I think men are more loyal than women to buy the magazine. Moreover, I am in the cover of it. Do you still remember about the controversy of Playboy? You know, I heard that the model is well known now. Whatever what their job either be an actress or still being a model.
Not only be famous models but also they are rich. That’s what I want to get. Money. What a perfect dream if you are rich and have much money. The photographer will take your picture while you wear the bikini, swimsuit or other mini clothes and he will give you the salary. Of course the big salaries as you have done. No models want to get less money for the pictures. It’s the expensive thing but it’s a simple way, right? The important one that I have to remember, I have to ignore what people say about me. Forget it. I think many jobs have their own risks and challenges.I don’t want to listen their mocks because they are jealous to you. They never know that the man magazine’s model is still survived. Although there is the rule of pornography but the dream must go on. I think there are many men magazines sell in the newspaper stand or stationary. The rule doesn’t affect me at all.
So, if this dream comes true, you have to stay tune your television I will be the next controversy. This wild dream affects you to open your eyes that there are many jobs in this world. It is different from the women who sell their virginity.I want to try how to be like these models. Are they really wanted to be like this? Do you want to join with me to be a man magazine’s model?