Monalisa
Posted by orange lover! , 2010/12/18 15.07
Sore itu, seperti biasanya, saya mengendarai motor menuju tempat mengajar di sebuah tempat pembelajaran bahasa Inggris di daerah Jati Asih. Keadaan mood yang normal membuat saya agak bersemangat untuk menjalani sisa waktu hari itu. Setelah sampai ditempat yang dituju, saya memasuki ruang kantor tempat guru-guru berkumpul sebelum bekerja. Terdapatlah disana Ibu Manajer dan seorang wanita yang seusianya setengah baya dari saya, saling bercakap-cakap. Wajahnya nampak murung dan kebingungan. Saya yang memang tidak tahu apa-apa sebelumnya dan tidak ingin mencampuri urusan orang lain lebih suka mengambil jarak tempat duduk dan mulai mempelajari buku materi yang akan saya sampaikan nanti dikelas.
Beberapa menit kemudian, saya menoleh kearah mereka karena Ibu Manajer memanggil saya untuk menghampirinya.
Saat itu hujan turun dengan lebat dan sebuah ceritapun tercipta diantara seorang wanita cantik (Yunika) dan seorang anak perempuan berumur 10 tahun (
Saya menyuruhnya lekas mengerjakan soal – soal tersebut karena biasanya ia paling malas untuk mengerjakan soal namun entah mengapa sore itu ia tampak begitu manis dan ceria. Tawanya yang lepas dan matanya yang berbinar memancarkan aura kebahagiaan. Entah mengapa hari ini ia nampak bersemangat sekali dan terkadang senyum – senyum sendiri, lamunannya tak kosong dan sudah terisi dengan sesuatu yang membuat senyumnya mengembang. Dapat nilai baguskah di sekolah har ini? Apakah mamanya membelikan mainan untuknya? Saya tidak mengerti apa yang ia pikirkan.
Saya benci Senin. Saya benci dia karena dia tak pernah memberikan saya waktu luang untuk bernafas panjang dan berleha-leha sejenak. Dia selalu memaksa untuk menerima apa yang telah ia siapkan untuk saya, kemacetan, rasa terburu-buru dan lelah, dead line dan sebagainya. Setelah sampai di kantor, entah mengapa saya ingin pulang kerumah lagi. Lingkar mata menghitam karena tak tidur semalaman, selain mengerjakan artikel yang akan diedit pagi ini, saya juga merasa seseorang memperhatikan saya dikamar. Setiap menit selalu menggangu. Saya rasa itu hanya keinginan terpendam untuk ditemani oleh seseorang. Mungkin saja.
Saya kembali mengembangkan senyuman setelah delapan jam menekukkan wajah dan menunjukkan muka serius di kantor. Alarm pukul lima sore ikut berdering tanda saatnya untuk meninggalkan kantor surat kabar ini. Ya, saya tidak suka bekerja di kantor surat kabar kriminal ini, obsesi saya sebelumnya adalah menjadi seorang kontributor ataupun editor untuk majalah remaja. Pekerjaan ini terlalu berat untuk saya untuk selalu menghadapi berbagai macam hitamnya hidup. Bukannya malah menyadarkan saya untuk tidak melakukan hal-hal yang buruk, tetapi malah membuat saya semakin takut untuk menghadapi hitam atau putih di dunia. Saya adalah seseorang yang ceria dan suka sesuatu yang berwarna-warni, tak sanggup jika harus menulis berita yang begitu tak masuk akal untuk dibagi kekhalayak. Pembunuhan, pemerkosaan, tawuran, dan perampokan adalah berita yang rajin mengisi hari-hari saya. Saya tidak suka dan benci jika seseorang menghilangkan nyawa atau sebagian yang ada dihidup orang lain. Bedebah!
Seru deru mobil mengiringi kebisuan kami. Tak ada sepatah kata pun yang kami keluarkan hanya untuk membuat derai tawa. Entah apa yang kami pikirkan. Saya memilih untuk membuang pandangan keluar jendela mobil. Walaupun malam dan gelap tetapi saya merasa terhibur dengan lampu – lampu jalan yang walau setitik tetap terlihat indah. Besta dan Kenza yang tengah duduk tenang di bangku depan, asyik dengan dirinya sendiri. Besta mendengarkan musik dari ponselnya dan Kenza berkonsentrasi menyetir. Sekarang pukul 8 dan tak ada petunjuk kami akan kemana. Ya, saya tidak tahu akan dibawa Kenza kemana, tiba-tiba ia menjemput saya di rumah lalu mengajak saya naik ke mobilnya, kemudian membawa saya pergi. Dia pun tidak bilang jikalau dia mau menculik saya atau tidak. Setelah itu, Besta pun ia angkut pula. Berulang kali saya bertanya kemanakah kita akan pergi, dia hanya menjawab, nanti kamu juga akan tahu. Ya, nanti. Setelah saya mati penasaran.
Cepat sekali rasanya dan tak disadari ternyata saya hampir menginjak semester tujuh dalam menjalani kuliah saya di Jurusan Sastra Inggris di Universitas Islam ’45 Bekasi. Berbagai macam hal telah terjadi dan telah mengubah hidup serta pola pikir saya. Banyak juga cerita – cerita yang telah terlontar dan kenangan yang masih berputar-putar dalam ingatan saya. Semua masih tersimpan dalam kotak yang sama, namun ternyata ada beberapa yang telah terpaksa untuk dikeluarkan lagi dan dibungkus rapat-rapat dalam kotak yang berbeda.
Kali ini, sebuah cerita kembali tercipta dari sini melalui sebuah tempat diluar sana yang menyimpan banyak sumber cerita untuk diolah. Dengan tema Praktek Kerja Lapangan (PKL) di SMA Sekolah Rakyat Bekasi, cerita ini pun saya rangkai diblog ini.
Giving much thanks to a friend in A – class, I knew Henry Irawan.
No one wonder my smile bloomed in the first time I listened to his voice
Heavy voice but it is easily swallowed in my ears
Saying some words ending O, I like those sounds.
I record them in my mind and replay them over and over.
Singing attractively on the stage, he bewitched me.
I shouted his name, stopped dancing and starred at him.
I could take his pictures by my camera, my eyes, and my mind.
Printing in my days, I display them in my dream.
Henry Irawan, thank you for replying my birthday greeting to you.
I screamed loudly when I knew that you were on my timeline.
Wishing you always succeed with your band, Henfo!
*elektron_ika*
Maaf maaf aja nih jikalau cerita ini agak begitu sendu, agak mellow karena kali ini, saya akan bercerita tentang suatu hal yang – sebenarnya sih sudah terjadi berkali - kali, tapi entah mengapa masih ada dorongan untuk melakukannya. Pada saat cerita ini saya tulis, saya masih dirudung rasa kecewa, amarah dan penyesalan yang begitu memuncaknya sampai saya tak tahu harus memuntahkan pada siapa. Ya iyalah, orang kesalahan ini saya yang buat dan saja telah jalani, jadi saya pun harus bertanggung jawab untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Semoga lain kali saya bisa mengontrol nafsu dan perasaan saya ya, agar kejadian ini tidak akan terjadi lagi.
Well, you may read this carefully karena cerita saya mungkin agak panjang dan berliku – liku, saya takut kalian yang membaca cerita ini tak mengerti dengan apa yang saya lontarkan lewat tulisan ini. Saya sendiri pun tak begitu memahami mengapa ini bisa terjadi dan terjadi diluar kendali saya yang tak memikirkan masak – masak untuk melakukannya. It’s so complicated to understand for me! Ya, iyalah mana ada suatu masalah begitu mudah kita pecahkan seperti membalikkan telapak tangan. Kalau masalah yang saya hadapi sifatnya seperti itu sih, dengan perasaan netral juga saya bisa menerimanya.
Ini masalah hati. I am broken heart. Hihi.. Kayak ABG aja ya, masih aja broken heart. Bukan saya sebenarnya yang merasa seperti ABG, tapi seorang laki – laki yang saya pacari, pikirannya masih ABG. But, fortunately, kita sudah putus hubungan (saya rasa). Hubungan cinta dan perasaan istimewa lainnya. I think he doesn’t know how to keep the relationship well. Dia mungkin nggak tahu bagaimana memperlakukan seorang wanita yang memang lebih tua darinya. Weiisst.. jangan kaget gitu ah. Yap, kami memang terpaku akan perbedaan umur dan juga jalan pikiran kita. Saya hanya ingin dia berpikir dewasa dalam menghadapi saya. Dia masih berumur 19 tahun, dan saya lahir dua tahun lebih awal darinya (menghindari kata ‘dua tahun lebih tua’ hehehe). Kami memang tak mempermasalahkan perbedaan umur yang ada, dia selalu bilang ini masalah hati, bukan umur, tapi untuk saya, perasaan itu sama saja bohong kalau tidak diekspresikan melalui tindakan. Seperti yang saya baca di sebuah artikel yang berjudul Philosophy of Love, bahwa rasa sayang itu bisa kita lakukan lewat menjaga orang yang kita sayang, peduli dengannya, saling mendengarkan satu sama lain, dan lainnya, sedangkan laki – laki itu? Huuffpp.. Sebenarnya, saya ingin sekali bercerita dengannya dari hati ke hati. Saya selalu ingin mengobrol dengannya tentang apa yang saja yang ia lakukan di hari – harinya karena ia selalu menghadirkan gelak tawa dengan menyisipkan aksen bicaranya yang khas ditelinga saya. Saya rindu itu semua karena kini jarang terjadi dalam hubungan kami. Dia tak berusaha untuk inisiatif mendekati saya atau datang kerumah saya untuk membereskan segala ketidakharmonisan yang ada. Tiba – tiba saat saya lihat statusnya di Facebook, ternyata dia sudah single atau lajang. Padahal sebelumnya adalah in relationship, with me of course!
Sebenarnya, semua kekosongan dalam hubungan kami ini terjadi berawal dari liburan semester ganjil di kampus (kami dalam satu universitas yang sama). Karena jarak rumah kita yang agak jauh dan menempuh waktu yang tidak sedikit, sebenarnya ini bukan suatu halangan, frekuensi pertemuan kami kian melemah. Saya memaksanya untuk datang kerumah untuk alasan bahwa aku ingin membicarakan dan membahas sesuatu (sebenarnya memang tentang hubungan ini). Tapi seharusnya bukan saya yang berinisiatif untuk menggenapkan semua pikiran dan rasa yang ganjil selama ini. Kami. Saya dan dia. Who knows jika ia masih punya jalan pikiran yang baik, dia pasti akan berpikir dan berusaha untuk tak mengulanginya lagi dan membenahi dan memperbaiki semua kerusakan yang ada. Namun nyatanya, nihil. Dia malah asik dengan dunia barunya. Dunia maya.
Sebelum saya memutuskan hubungan, pada saat terakhir kali kami bertemu, saya sudah memperhatikan gerak-geriknya yang mencurigakan karena tak biasanya dia begitu dingin, kaku dan bicara seadanya. Seperti disulap, dia tiba-tiba berubah. Setelah itu, kami benar – benar kehilangan komunikasi sama sekali, dan akhirnya saya men-single kan diri. Entahlah selama ini saya mempunyai hubungan dengan jenis manusia seperti apa. Entah laki-laki atau perempuan. *sigh*
Inilah yang saya sebut menelan ludah sendiri, sebelumnya, dalam blog ini juga, saya pernah menulis kisah saya yang berjudul ‘BROWNIES (Berondong Najis!)’, disitu saya mengisahkan betapa saya tak ingin lagi berhubungan dengan kaum berondong yaitu cowok – cowok yang usianya lebih muda dari saya dan kini, saya telah jatuh kedalam lubang hitam yang sama untuk yang ke sekian kalinya. Stupid me! Sudahlah, saya ingin melupakan semua kesedihan yang menumpuk dalam dada. Inilah saatnya melanjutkan semua kehidupan yang telah terpasang rapi didepan mata. Kebahagian itu pasti ada.
Semoga dia mengerti dengan apa yang saya rasakan selama ini, walaupun saya juga benar – benar kurang tahu apa yang ia pikirkan dan ia rasa. Saya sudah menghabiskan berkotak – kotak kesabaran dalam diri saya untuk menunggu keajaiban terjadi untuk kami, namun sayangnya sabar – sabar itu telah habis. Semoga Tuhan mengisi kotak – kotak itu lagi untuk lain orang yang lebih baik. Let’s see, soon you’ll fall under my spell!
Belakangan ini saya rajin memperhatikan gerak-gerak Chacha, teman kuliahku. Sepertinya dia berubah. Tapi saya aneh dengan perubahannya itu. Setiap saya dekati, dia berusaha menjauh pelan-pelan sambil memberikan senyum yang kaku, tak ada arti dan tak menjawab semua pertanyaan yang ingin saya utarakan padanya. Setiap hari saya mengejarnya untuk memuaskan rasa penasaran saya padanya yang kian hari kian bertambah banyak sampai saya hampir tenggelam dalam keingin tahuan yang saya tak tahu dimana dasarnya.
Hari ini, saya menghentikan langkah untuk mengikutinya setelah menemukannya sedang duduk berdua dibawah pohon rindang bersama teman laki-lakinya. Ada terbesit pikiran untuk beranjak dari tempat saya berdiri lalu meninggalkan mereka, tapi entah mengapa, kaki saya tak ingin lepas dari pijakan nya. Ada apa ini? pikir saya. Dua menit bertengkar dengan kaki, akhirnya mereka mengalah dan saya pun berbalik meninggalkan Chacha dan kekasihnya itu. Tapi tunggu, DEG! Urat-urat dalam tubuh saya mengencang. Kaki saya ngambek lagi. Mereka tidak mau digerakkan lagi ketika sudah mengambil tiga langkah. Seketika sesosok wanita berambut ikal melesat pergi sambil menunduk menyembunyikan wajahnya. Brengsek! Ingin rasanya ku potong kakiku dan beringsut menyusul perempuan itu yang kuketahui adalah Chacha. Derap langkah terburu-buru membuat saya mengepal tangan kuat-kuat lalu berbalik dan melayangkannya pada sebuah wajah dibelakang saya.
“Kurang ajar! Siapa kamu! Seenaknya nonjok muka orang!” ujar laki-laki itu dan mengelus-elus pipi kanannya yang membiru.
“Ada apa dengan Chacha? Apa yang telah kamu lakukan?” tanya saya menantangnya.
“Apa urusan kamu? Siapa kamu? Pacar barunya Chacha, hah?” dia kembali menantangku sambil mendorong bahu saya kuat-kuat sampai saya bergeser kebelakang.
Saya beri dia tegangan yang sedari tadi saya kumpulkan untuk melawannya. Dia tersungkur dan menggelepar.
Tanpa ambil banyak waktu, saya susul Chacha. Dia tidak ada dimana-mana. Saya cari dia ditempat dimana ia biasa bercengkerama dengan teknologi dan dunia maya, tapi nihil hasilnya. Saya cari dia kebelakang kampus, mungkin saja ia sedang memenuhi nafsu makannya, tapi, ternyata ia sedang tak punya nafsu. Kemana ia? Setelah setengah jam mencarinya, akhirnya saya temukan ia keluar dari persembunyiannya.
“Chacha!” panggil saya.
Ia menoleh dan memberi saya senyum yang masih terasa kaku. “Hai.”
“Ceritakan padaku. Ada apa dengan kamu?”
Dia tertawa. Masih kaku. “Nggak apa-apa kok walaupun agak merasa sedikit korslet.”
Saya mengerutkan kening, “Itu namanya kamu nggak berada dalam keadaan yang baik. Mari aku perbaiki.”
“Tidak perlu. Sudah ada yang bisa membetulkan.”
“Siapa? Pacarmu. Dia sudah tewas membiru aku setrum.” Aku saya tenang.
Chacha membelalakan matanya. Terlihat mereka memerah. Setelah itu wajahnya netral kembali, seperti biasa, seperti tak terjadi apa-apa. “Oh, baguslah. Terima kasih. Aku memang bodoh untuk membiarkannya tetap hidup, karena aku dan dirinya memang berbeda. Aku tak punya daya untuk menolak segala permintaannya. Dia seperti telah memprogramku selama ini. Hebat ya!”
“Maksudmu, kamu telah dikendalikan?” Saya tak mengerti apa yang ia bicarakan.
“Aku adalah robot.” Bisiknya. “Dan aku sangat berterima kasih karena efeknya masih aku rasakan.”
“Aku nggak ngerti maksud kamu, Cha.”
“Aku selalu saja mendengarkan apa maunya, perintahnya, dan segala macam perkataannya. Aku selalu sabar dan takut untuk mengutarakan semuanya karena aku tak bisa melawan orang yang bisa dibilang telah menciptakan aku, Jadi, bukankah aku adalah robot?” Dia tertawa dan tak terlihat kaku lagi. “Tapi ternyata, sekarang aku sadar menyenangkan sekali menjadi robot.”
Kepala saya terisi banyak kebingungan. Aneh sekali perempuan ini. “Apa asyiknya menjadi robot?”
“Aku ingin menjadi robot yang tak punya rasa karena aku tahu setelah ini rasa sakit hati dan patah hati pasti menghampiri dan mengerubungiku. Aku nggak mau merasakannya dan aku ingin menhadangnya dengan badan besiku.” Chacha terlihat lepas sekali memberikan senyumnya ke langit.
“Tapi Cha? Kalau kamu jadi robot yang tidak bisa merasakan apa-apa, kamu juga nggak bisa merasakan indahnya jatuh cinta, dong?.” Saya menjebaknya dengan pertanyaan, semoga ia ingin berubah menjadi manusia lagi bersama saya.
Dia menggelengkan kepalanya. “Nggak ah. Aku nggak mau. Sulit lagi untuk menjadi manusia dalam keadaan seperti ini. Aku masih menikmatinya.”
“Ya sudah, aku juga nggak mau berubah jadi manusia deh. Aku temani kamu jadi robot.” Saya merangkulnya dan menepuk pundaknya. Walaupun semua ini terasa tak masuk akal, tapi saya senang, jikalau saya melihat Chacha menjadi robot yang bahagia.
Sebulan ini saya merasakan kehadirannya. Entah siapa. Tapi yang jelas, saya merasakannya. Dia menyentuh lembut pipi dan meniup mesra setiap helai rambut saya. Awalnya memang saya begitu menikmatinya, hingga saya benar-benar menginginkannya lagi dan menjadi sebuah candu yang terkadang membuat badan saya sakit, panas dingin dan akhirnya terkulai lemas, ketika saya menunggu kehadirannya lagi. Setiap rasa ingin itu datang kembali, saya tidak tahu kemana saya harus mencarinya karena saya tidak tahu dia siapa. Ingin sekali berjalan mengikuti jejak – jejak yang pernah ia tinggalkan ketika ia menemani saya waktu itu, tapi ternyata itu hanya mimpi. Ternyata dia tidak pernah meninggalkan apa-apa, seperti bau ataupun sebuah benda untuk saya kenang. Saya ingin dan benar-benar ingin bertemunya, sekali lagi, walaupun saya yakin bahwa saya akan terus menunggunya untuk hadir kembali dan dia akan datang kemari.
Suatu kali dia hadir, walaupun saya hanya mendengar jejak langkahnya saat menghampiri, ketika itu, saya yang menjemputnya untuk datang. Segala kesabaran yang saya kumpulkan dari hari-hari sebelumnya ketika kami tak saling bertemu telah menguap sedikit, tapi ternyata hanya meninggalkan sedikit kesan saat saya mendengar suaranya. Tanpa menunggu lama , saya langsung mencercanya dengan segala rasa penasaran diatas kepala yang sudah hampir kadaluarsa saking saya tak tahu kapan saya akan mengutarakan ini semua.
Sambil memejamkan mata untuk benar-benar merasakan dia disamping saya, dengan setengah berbisik, sayapun bertanya kepadanya, “ Katakan padaku, kamu siapa?”
Suaranya pun tak kalah pelan, “Aku ini .. Aku ini…”
Ternyata dia belum menjawab, saya terus berusaha berkonsentrasi penuh. Dia memutari saya. Saya merasakan dirinya didepan saya, membelai kedua telinga, tengkuk, lalu menyelimuti saya dari belakang. Dingin. Suara saya mengeras, “Siapa namamu?”
Dia tertawa. Saya pun tersenyum. Dia menggelitik telinga kanan saya. “Nama saya Angin!” ujarnya.
“Bisakah engkau kemari lagi untuk menemani saya, Angin?” Saya membuka mata ketika tahu ia agak menjauh karena sentuhannya tak begitu terasa seperti beberapa detik yang lalu. “Saya mohon. Temani saya.” Ada sebuah titik air dalam rongga mata saya yang terpejam. “Saya membutuhkanmu, Angin! Sangat.”
“Kita lihat saja nanti. Saya harus pergi. Sudahlah, jangan mencemaskan saya, jika saya ingat, saya akan hadir lagi.” Sepertinya dia dibelakang saya.
“Jangan pergi.”
“Jangan terlalu banyak bertemu. Aku takut nanti aku masuk ketubuhmu.” Dia lebih terasa menjauh, dia sudah diujung pintu.
“Tak apa jika saya harus masuk angin. Itu lebih baik, karena kamu tak akan pergi dari saya walaupun untuk beberapa hari dan saya pun tahu keberadaan kamu, dalam diri saya.”
Tapi sayang, tak ada lagi suara gemerisik dari nya. Ternyata dia sudah pergi. Saya ambil seutas tali yang telah saya siapkan, lalu menggantung diri. Berharap menjadi angin, dan bertemu dirinya setiap hari.
Salam kagum selalu untuk saling berbagi kisah, Pembuat Cerita.
Hai, Pembuat Cerita! Apa kabarmu? Masih indahkah alam imajinasimu dan segala rangkaian kata-kata tajammu yang selalu sampai kedalam sanubari dalam membuat cerita? Aku ingin seperti dirimu wahai Sang Pembuat Cerita. Aku menanti inspirasi yang nyata yang bisa aku kenang walaupun hanya sebuah cerita. Tapi, yang menjadi permasalahannya sekarang ini adalah inspirasi dan objek ceritaku tak ingin membagi kisahnya kepadaku. Sebenarnya, aku tak ingin orang lain yang menjadi peran utama dalam segala kisah yang aku dapat bagi kepada sesama manusia yang bisa membaca dan juga mengerti apa maksudku. Aku hanya ingin Aku dan Pria Itu. Memang, ini mungkin terdengar berlebihan untukmu, Sang Pembuat Cerita. Tapi memang itulah, dia tidak ingin berbagi. Dia tidak ingin bercerita, padahal aku yakin, bercerita itu sangat mengasyikkan. Ceritanya sangat aku inginkan. Walaupun banyak bualan dan omong kosong dalam sebuah cerita, aku hanya ingin dia bercerita. Jika memang dia seseorang yang tak ada maksud untuk berbohong, aku ingin dia bercerita yang sejujurnya tanpa ada rasa untuk melebihkan atau mengurangi.
Sang Pembuat Cerita, buatlah dia agar tak punya rahasia. Bukankah dalam bercerita, apa yang engkau pikirkan dan rasakan bisa kau sampaikan dengan lugas dan jelas tanpa ada sedikitpun kata atau pikiran untuk menyembunyikan? Itulah mengapa aku senang untuk bercerita. Inginku, dia bercerita tentang apapun, kekuranganku, kelebihanku, apa yang ada dipikirannya tentang diriku, apa yang ia sembunyikan, dan apa yang ia rasakan.
Sang Pembuat Cerita, bisakah kau membuat dirinya untuk membuat cerita? Aku akan menerimanya walaupun hanya sehari saja untuk mendengarkan ataupun membaca cerita darinya. Pasti rasanya akan sangat menyenangkan jika aku membuat cerita tentang dirinya, walaupun dia tidak menceritakan sesuatu, tapi ku bisa membuat cerita, seperti sekarang ini.
Sang Pembuat Cerita, bagaimana caranya agar dia mau bercerita? Apakah saya harus mengancamnya dengan belati agar dia mau bercerita? Apakah saya harus mewujudkan apa yang ia inginkan agar dia mau membagi ceritanya? Apakah saya harus mengikatnya agar dia tidak menghilang? Aku takut, jika cerita darinya menghilang, dia akan kabur juga. Betapa anehnya dia, ketika banyak orang yang ingin sekali membuat cerita, tapi ia malah diam, tersenyum, menatap, tapi tak berkata apa-apa diiringi wajah seperti menyembunyikan sebuah cerita. Kau tahu, Sang Pembuat Cerita, rasanya aku ingin sekali menjerat lehernya dengan seutas tali ketika dia menunjukkan ekspresi itu, lalu berteriak, ‘Ceritakan aku sebuah cerita, Sayang! Cerita yang kau sembunyikan dariku!’.
Maaf, jika aku terlalu berlebihan dalam menanggapi ini, Sang Pembuat Cerita. Tapi aku memang tak sanggup untuk bermain petak umpet dengan cerita yang ia sembunyikan dibalik baju keegoisannya. Lihat saja, Sang Pembuat Cerita, setelah aku dapatkan cara darimu agar ia dapat bercerita, cerita itu akan kuletakkan di tanganku, dan kulempar kedalam tungku pembakaran masa lalu.
Sekianlah surat dariku, Sang Pembuat Cerita. Terima kasih.
*Ditunjukkan kepada Rahasia.
Terkadang kau begitu tak bersahabat*
Designed by Wordpress Themes. Converted into Blogger Templates by Theme Craft