Siapa yang Membunuh Saya?
Posted by orange lover! , 2010/07/30 19.41
Saya benci Senin. Saya benci dia karena dia tak pernah memberikan saya waktu luang untuk bernafas panjang dan berleha-leha sejenak. Dia selalu memaksa untuk menerima apa yang telah ia siapkan untuk saya, kemacetan, rasa terburu-buru dan lelah, dead line dan sebagainya. Setelah sampai di kantor, entah mengapa saya ingin pulang kerumah lagi. Lingkar mata menghitam karena tak tidur semalaman, selain mengerjakan artikel yang akan diedit pagi ini, saya juga merasa seseorang memperhatikan saya dikamar. Setiap menit selalu menggangu. Saya rasa itu hanya keinginan terpendam untuk ditemani oleh seseorang. Mungkin saja.
Saya kembali mengembangkan senyuman setelah delapan jam menekukkan wajah dan menunjukkan muka serius di kantor. Alarm pukul lima sore ikut berdering tanda saatnya untuk meninggalkan kantor surat kabar ini. Ya, saya tidak suka bekerja di kantor surat kabar kriminal ini, obsesi saya sebelumnya adalah menjadi seorang kontributor ataupun editor untuk majalah remaja. Pekerjaan ini terlalu berat untuk saya untuk selalu menghadapi berbagai macam hitamnya hidup. Bukannya malah menyadarkan saya untuk tidak melakukan hal-hal yang buruk, tetapi malah membuat saya semakin takut untuk menghadapi hitam atau putih di dunia. Saya adalah seseorang yang ceria dan suka sesuatu yang berwarna-warni, tak sanggup jika harus menulis berita yang begitu tak masuk akal untuk dibagi kekhalayak. Pembunuhan, pemerkosaan, tawuran, dan perampokan adalah berita yang rajin mengisi hari-hari saya. Saya tidak suka dan benci jika seseorang menghilangkan nyawa atau sebagian yang ada dihidup orang lain. Bedebah!
Saya menghirup udara petang kali ini dalam-dalam. Layaknya seorang tahanan yang baru saja bebas dari penjara, dengan langkah ringan, saya menuju sebuah café yang letaknya 100 meter dari kantor saya berdiri. Sore ini saya punya janji dengan seorang pria, yang tak lain adalah kekasihku, Daniel. Ya, walaupun dia sudah mempunyai istri, namun saya tetap mencintainya. Kami akan bicara panjang lebar hari ini setelah dua minggu tak bertatap muka karena ia adalah seorang fotographer yang selalu pergi keluar kota dan mungkin selalu kekurangan waktu untuk saya daripada istrinya. Seluruh keluh kesal telah kami bagi, apa yang ada didalam pikiran dan perasaan kami telah kami tumpahkan. Apalagi? Hmm.. Nampaknya kita harus bermalam, sayang. Sungguh saya rindu kamu. Tapi, Senin pun tak mengizikan lagi, esok pagi ia harus ke Surabaya. Sudahlah. Pukul 9, kami berpisah dengan sebuah kecupan dan dekapan panjang, kami bertolak arah pulang. Dia ke daerah Kelapa Gading, sedangkan aku ke daerah Semanggi. Aku tinggal disebuah apartemen yang sudah setahun ini aku sewa.
Malam ini langit tampak kusam, tak ada bintang, dan bulan juga tak terlihat karena tertutup awan hitam. Udara dingin malam mulai meraba tengkuk dan membangunkan bulu roma. Saya buru-buru masuk ke sebuah apartemen dengan lampu sorot ungu yang menakjubkan. Setelah sampai di lantai 9, saya buka pintu rumahku yang tanpa halaman ini, kunyalakan lampu-lampunya dan bergegas mandi. Saya terkejut melihat jam di ruang tidur telah menunjukkan pukul 11 malam. Setelah itu, saya sibakkan selimut dan mematikan lampu meja yang berada disebelah tempat tidur. Keadaan sungguh sangat hening. Saya tajamkan pendengaran saya, hmm.. benar – benar senyap. Setelah itu, saya coba untuk memejamkan mata, tapi tak berhasil apalagi dengan adanya sebuah sekelebat bayangan yang mampir dipelupuk mata saya. Mother F*! What was that? Saya melihat dia menuju sudut kamar saya. Lampu saya nyalakan, namun tak nampak apa-apa. Hanya sebuah sudut kosong yang kaku dan dingin. Kembali saya matikan lampu, dan memperhatikan sudut tersebut yang berada di sebelah kanan. Tapi, mata saya sedikit terkatup dan saya coba untuk membuka nya lagi dan voilaaa… Sesuatu mengangetkan saya, eh, tidak, seseorang, bukan, sesosok berdiri disudut yang sedang kuperhatikan itu. Walaupun dalam keadaan gelap, saya bisa melihatnya. Apakah dia hantu? Sepertinya bukan, karena dia tidak membuatku takut, tapi penasaran. Saya beranjak dari kasur dan menghampirinya. Sosok itu menundukkan kepalanya, ingin saya menyentuhnya namun ia mundur teratur. Sebentar, saya berusaha dengan seksama memeriksanya. Rambutnya pendek dan lurus, rambut depannya menjulang keatas dan bahunya kekar. Saya belum bisa memperkirakan tingginya karena ia tidak berdiri dengan tegak karena punggungnya agak membungkuk kedepan.
“ Maaf, kamu siapa?” Saya memberanikan diri menyapanya.
Dia menunjukkan wajah dan menegakkan badannya. Tampan sekali ia, matanya bulat dan bulu matanya lentik, alis matanya tebal, hidungnya mancung, dan bibirnya tipis. Terdapat pula tahi lalat kecil disudut bibirnya. Ku perhatikan ia dari atas sampai bawah dan saya langsung menutup mata ketika menemukan ada yang bergelantung dibagian bawah badannya, mirip punya Daniel. Oh, Gosh! Siapa sih laki-laki telanjang ini, seenaknya tengah malam menyusup kekamar wanita tanpa diundang. Tidak sopan!
“Nama saya, Langit. “ jawabnya setengah berbisik dan dia berani menatap mata saya.
“Kamu datang dari mana?” tanya saya lagi dan membalas tatapannya karena saya tak ingin melihat kearah lain yang bisa membuat jantung saya berdegup cepat dan takut terhenti tiba-tiba.
“Dari sebuah dunia yang sekarang berbeda dengan kamu, manusia.”
Saya mengerenyitkan dahi. Beda dunia? Saya dan Kamu? “Kenapa kamu nggak pake baju?”
“Di dunia baru saya sekarang, saya tak diperbolehkan memakai baju. Semuanya harus serba kembali ke asalnya, tanpa mengenakan dan membawa apa-apa.”
“Oh. Saya mengerti sekarang. Jadi Langit sudah kembali ke langit?” Saya masih berusaha memahami semua ini. Pandangan saya kini agak kabur, mungkin agak mengantuk dan pikiranpun sudah terbang entah kemana.
“Saya sudah lama disini karena saya pernah tinggal disini. Tapi karena pacar saya memutuskan hubungan saya dengan dunia ini, jadi, secara nggak langsung, dia mengirimkan saya kelangit.” Dia menyeringai, nampak giginya yang rapih.
Kasihan sekali ya pria itu, tenyata ketampanannya tidak meluluhkan hati pacarnya. Saya menatapnya penuh rasa takjub dan tak percaya. Ingin sekali saya mengajaknya untuk ke meja makan, minum kopi lalu mengajaknya berbincang lebih dalam lagi. Tapi saya urungkan niat itu karena pasti dia tidak bisa minum kopi atau cairan apapun. “Tapi untuk apa kamu kesini? Menampakkan diri dan tanpa busana lagi.”
“Menyampaikan sesuatu.” Jawabnya pendek dengan tatapan tajam.
“Apa?”
“Kematianmu.”
Deg! Jawabannya sungguh membuat saya terkejut ditengah malam ini. Tapi saya masih tidak mempercayainya. “Bukan kamu yang seharusnya memberikan informasi ini kepada saya”
“Siapa?”
“Loh, bukannya sudah ada yang bertugas? Lancang kamu!”
“Ah, dia terlalu menyeramkan untuk memberi tahu ini semua kepadamu karena kamu tidak suka sesuatu yang menakutkan, bukan? Lebih baik aku saja, lihat, kamu terpesona sekali melihatku disini. Seperti benar-benar ada seorang pria tampan dikamarmu yang siap untuk memeluk dan menerkammu dari belakang.”
Saya tertawa keras, seakan apa yang dia sampaikan adalah lelucon belaka. Sepertinya dia adalah hantu gila yang frustasi dengan status sebagai makhluk halus. “Hei kamu setan aneh! Pergi saja kamu sana ke dunia kamu yang nggak boleh pake baju itu dan nggak usah mengganggu saya. Ini rumah saya, bukan punya kamu lagi. Terserah kalau kamu mau menyampaikan kematian atau apalah. Saya juga mengerti kalau nanti saya akan mati.” Geram saya dan kembali ke tempat tidur untuk melanjutkan tidur yang tertunda. “Oh iya, satu lagi, kalau mau menampakkan diri, lebih baik malam hari saja saat keadaan gelap karena kamu akan terlihat menyeramkan jika dilihat pada siang hari.” Saya pun membungkus diri dengan selimut tebal dan memejamkan mata lalu tidur.
Tiba-tiba Langit menghampiri tempat tidur dan menyibakkan selimut yang baru saja melindungi badan saya. “Saya nggak mau pergi.” Ujarnya dengan tatapan dingin. “Saya akan pergi kalau kamu ikut bersama saya.” Lanjutnya.
Arrgh.. tidak nyaman sekali rasanya yang sedang berdiri diatas saya yang sedang berbaring ini. Lekas saya bangun dan berdiri didepannya. “Mau kamu apa sih, hah??” bentak saya sambil berkacak pinggang.Wajahnya masih tetap sinis dan dingin tapi terbesit sebuah pengharapan dan keinginan yang tinggi. Ya, membunuhku sepertinya.
“Saya Cuma mau sama kamu kok. Saya menunggu kamu untuk pergi dari sini bersama-sama.” Jawabnya dengan tenang.
“Ya udah. Kepojok lagi sana. Jangan dekat-dekat.” Saya kembali ke tempat tidur dan mulai memikirkan sesuatu. ‘Apa betul kalau dia akan menjemput kematian saya?’ Malam ini pasti tidur saya tak nyenyak. Lihat saja kalau dia berbohong, akan saya pakaikan dia baju. Hoaamm…
“Kamu sudah siap?” tanya Langit sambil menggenggam tangan saya erat. Saya buka mata dan memeriksa sekitar. Saya mengelus dada dan menghela napas ketika tahu bahwa saya masih berada di dalam kamar. Saya berusaha melepas genggaman Langit yang begitu merekat ditelapak tangan saya dan bergegas untuk bersiap-siap ke kantor lagi hari ini.
“Kamu mau kemana, Dona?” tanya Langit dan mengikuti saya dari belakang.
“Mau ke kantor.” Jawabku pendek dan acuh setelah memperhatikan sosok itu masih tanpa baju dan sepertinya hari ini dia akan kupaksa untuk memakai gaun malam. Saya tersenyum sengit. Tapi tunggu. Tak seperti biasanya pagi ini kurasakan amat sangat dingin. Siapa yang menaikkan suhu pendingin dikamar? Brr.. Rasanya seperti tanpa baju. Tunggu! Saya memang tidak pakai baju. Kemana kemeja longgar yang semalam saya pakai? Atau jangan-jangan Langit telah melakukan sesuatu padaku semalam dan tidak aku ketahui. Tapi siapa yang berada diatas kasur? Apakah itu Daniel? Saya meraih selimut tebal yang semalam melindungi tubuh dari dinginnya malam. AAAAA……..!!!!!! Saya terpekik melihat apa yang saya temukan dibalik selimut. Dia bukan Daniel yang biasanya tertidur pulas disitu. Dia adalah Donna Felinda. Saya. Terbujur kaku dengan mulut menganga, saya terbunuh dengan dua buah tusukan dibagian perut dan dada. Siapa yang membunuhku?
“Kau tak ingat kalau seorang wanita telah membuatmu pindah dunia?” Langit mengagetkan saya yang tengah terisak. Saya sadar ternyata saya telah menjadi temannya. Sepertinya dia tengah merasa puas karena telah berhasil menjemputku untuk ke dunianya. Dia menang dan saya terpuruk melihat jasad saya sendiri. “Saya pun tahu apa yang kamu rasa karena saya pun mengalaminya. Sudahlah ayo kita pergi. Tugas saya sudah selesai, sebaiknya saya lekas pergi dari sini. Kau tidak cantik sekali saat mati.”
Terdengar suara dobrakan pintu dari luar. Polisi dan anjingnya pun siap beraksi untuk mengidentifikasi dan membongkar semua bukti yang ada. Jasad saya dibopong mereka dengan kantong mayat kuning. Saya tak menginginkan untuk mati seperti ini dengan darah yang membanjiri tubuh saya sendiri. Saya benci kamu, Langit. Jika kamu bisa mati dua kali, saya bunuh kamu. Tapi siapa yang membunuh saya? Siapa?
Sambil menutup wajah yang penuh akan rasa malu, bingung dan takut, saya mengikuti langit untuk kembali ke asal dimana manusia tidak mengenakan dan membawa apa-apa. Saya juga tak sempat membawa seluruh peralatan kecantikan saya dan mengajak Daniel. “Langit, siapa sih yang menghilangkan nyawa saya?”.
Langit menaikkan bahunya. “Saya tidak kenal.”
Esoknya, tersiarkan lewat surat kabar pada headline halaman depan.
ISTRI BUNUH PACAR SUAMI
Hahaha cerita misteri yang kocak (LOL)
Eiya, cuma sekedar saran...
Di beberapa paragraf saya menemukan pronoun orang pertama (dlam bahasa Indonesia) yang gak konsisten, kadang ngomong "saya" kadang "aku" lol