PENGAKUAN KENZA

Posted by orange lover! , 2010/07/07 12.51



Setelah semalam terjebak oleh kata-kata si wanita-penuh-akan-ambisi, Besta. Esok siangnya, saya hela nafas ketika menerima pesan singkat dari seorang pria yang tak lain tak bukan adalah objek pembicaraan antara saya dengan Besta, yaitu Kenza. Isinya begini :

Hai, apa kabar? Gimn kmrin di Cibods? Seru ya?

Senang, akhirnya aku ktmu n ngobrol seru sm kmu lgi.

Aku lg dtmpt ne2k dibksi, ad wktu ktmu ga?

Saya yang saat itu sedang menunggu seseorang, hanya membalas pesannya dengan kalimat, Nanti aku kabari lagi, dan dia pun menjawabnya dengan, Ok, aku tunggu. Huuftt.. Manis sekali. Setelah dua jam berlalu, setelah saya menyelesaikan ujian hari ini, akhirnya saya mengirimkan pesan singkat untuknya, Ok. Aku ada waktu.

Tepat pukul empat saya telah sampai di tempat yang telah kami janjikan, dengan sack dress hitam dan jeans, saya menemuinya dengan jantung yang berdetak cepat. Entah mengapa harus ada rasa seperti ini, apakah sisa – sisa kenangan dan serpihan-serpihan rasa masih ada yang sedikit tertinggal dipikiran dan hati saya? Arrgghh.. menyebalkan sekali ketika kita ingin meninggalkan masa lalu tapi ternyata dia tetap saja mengikuti dan tidak mau pergi dan ironisnya, kini saya malah menghampiri masa lalu itu. Bodohnya..

Saya memasuki sebuah kedai kopi yang juga menjual donat di salah satu pusat perbelanjaan di Bekasi dan terlihat disana seorang laki-laki yang tengah asyik duduk di depan layar komputer jinjing yang ditengahnya ada gambar apel digigit setengah dan ditemani segelas kopi disebelahnya. Saya duduk disebelah laki-laki itu yang ternyata tak menyadari kehadiran saya. Dia tampak keren sore ini. Dengan hooded sweater hijau dan jeans hitam dia masih mempesona. Wajahnya yang segar seperti habis mandi malah membuat saya rendah diri dengan keadaan wajah dan rambut saya yang seperti orang belum mandi dua hari.

“Hai !” sapa saya.

Dia menoleh. Tuh kan, nggak nyadar saya datang. Saya tersenyum.

“Udah lama, ya?” tanya kami bersamaan. Lalu kami diam. Pandangannya kembali ke layar komputernya. Saya mengintip sedikit, dan sepertinya dia sedang membuka sebuah pesan elektronik. Saya menyadar ke punggung sebuah sofa coklat yang saya duduki, menerawang ke antrian panjang di depan saya, lalu beralih memperhatikan Kenza yang memasukkan komputer jimjingnya kedalam ransel dibawahnya.

“Kamu suka kopi nggak? Atau mau donat?” tawarnya sambil masih berusaha memasukkan komputernya. Hah, Kenza, kamu nggak berubah, masih aja ribet. Hihii..

Saya menggeleng.

“Serius?”

Saya mengangguk. Saya memang lagi nggak ingin apa-apa. Lidah saya sedang hambar sekali. “ Kamu udah lama nunggu ya, Ken. Maaf ya, tadi macet.”

“ Nggak apa-apa. Aku nggak nunggu lama kok. Baru aja nyampe.”

Saya tahu, Kenza berbohong. Saya bisa lihat dari gelas kopinya. Isinya sudah hampir habis, mana mungkin, kalau saja, dia baru datang, kopi panas nggak mungkin diteguknya cepat-cepat. Saya hanya menunjukkan muka datar saat saya mendengar jawabannya. Kami masih terdiam. Kalau saya sih, memang nggak tahu harus bicara apa dan tak ada yang ingin saya bicarakan. Kalau Kenza, entah.

Saya masih bersandaran di sofa sambil membalas pesan singkat dari seorang teman. Kenza pun melakukan hal yang sama tapi entah apa yang ia lakukan dengan ponselnya itu. Aduh, ngapain ya saya mau aja diajak kesini, sampai sini, malah nggak melakukan apa-apa. Hayolah, Kenza, jika ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan, bergegaslah. Hari mulai beranjak petang. Saya melirik kearahnya ketika dia sedang memperhatikan saya. Wajahnya seperti mengisyaratkan bahwa ia ingin mengutarakan sesuatu, tapi raut mukanya nampak ragu.

“Kenza, kita disini ngapain sih? Cuma ketemu aja? Kalau iya, aku pulang ya, kan kita udah ketemu.” Pinta saya.

“ Eh, jangan lah. Aku memang mau membicarakan sesuatu. Suatu hal yang aku masih tidak mengerti. Lebih tepatnya mungkin, bingung.”

“Aku ikutan nggak ngerti nih. Bisa to the point gak?”

Dia menghela napas. “ Okey. Sebenarnya aku juga ingin mengabarkan sesuatu bahwa aku telah putuskan hubungan dengan pacarku. “

Aku kaget. Mataku terbelalak mendengar ucapannya.

Dia melanjutkan, “Entah mengapa setelah kepulangan kita dari Cibodas, dia langsung bilang mau putus denganku. Padahal kita sudah enam bulan berpacaran. Nah, tadi pagi, Besta menghubungiku. Dia berbicara panjang lebar tentang perasaannya padaku, meminta maaf dan ingin sekali menjalin hubungan lagi denganku. “

“Terus, kamu bilang nggak kalau kamu udah single? Semalam dia juga menghubungiku dan bilang kalau dia juga mau balik lagi sama kamu.” Badan saya mulai kembali tegak, pembicaraan ini mulai membuat saya tertarik, apalagi untuk menghancurkan Besta.

Dia menggeleng. “Nope. Aku nggak bilang. Lagipula, sepertinya aku harus berpikir ribuan kali lagi kalau harus balikan sama Besta. Kamu kan tahu, dia pernah selingkuh.”

“Ya, bagus lah. Kalau kamu bilang bahwa kamu udah nggak punya pacar lagi, wah siap-siap aja capek gara-gara lari terus dikejar-kejar sama Besta. Haha.. Eh, tapi tumben, kamu malah nggak bilang, biasanya ada cewek yang ngedeketin, langsung disikat. ujar saya sambil menepuk-nepuk pundaknya.

Dia tertawa. Lalu melanjutkan, “Memang. Yah, mumpung lagi ada kesempatan, aku mau mewujudkan keinginanku yang sempat tertunda.” Lalu, dia menatap saya tajam.

Saya salah tingkah. “Oh, iya, kamu harus fokus tuh sama kuliah kamu. Bagus.” Ujar saya agak terbata-bata.

Dia tersenyum. Saya mau pingsan lihat senyumnya. Yap, itulah salah satu alasan mengapa dulu saya ingin sekali memiliki senyum itu. Ingin sekali saat dia senyum tadi, senyumannya saya tangkap, masukkan tas, lalu saya bawa pulang. Tapi, ternyata tidak terjadi. Dia terdiam, menggigit bibirnya lalu membukanya, dan mengatup. Seperti ingin mengatakan sesuatu. Akhirnya, dia membuka pembicaraan lagi, “ Keinginan itu kamu.”

Saya tertawa terbahak-bahak. “ Aku nggak ngerti loh, Ken! Maksudnya apa?”

“ Anak aneh.” Ejeknya sambil mendorong pundak saya. “ Aku ingin kamu lagi.”

“Menginginkanku? Untuk apa?” tanya saya diiringi tawa.

“Ya, untuk dijadikan pacarku lah. Dulu kan kita nggak sempat jadian, gara-gara aku keburu sama Besta. Nah, sekarang aku mau kamu jadi pacar aku.”

“ Berarti, kamu sendiri yang menghancurkan keinginan kamu. Misalkan kamu mau jadian sama aku, ngapain kamu sama Besta? Bodoh.” Ungkapku agak sinis. “Berarti, aku hanya seorang perempuan cadangan dimata kamu.” Lanjut saya dengan tatapan sinis bukan lagi mengagumi.

“Kok kamu ngomongnya gitu, sih?” nada suaranya tinggi. “Aku nggak bermaksud begitu.”

“ Itu hanya kesimpulan aku setelah selama ini aku mengumpulkan semua keterangan yang ada.” Posisi dudukku tak lagi tegak. Kulipat tanganku dan duduk menyandar kembali.

“ Pokoknya, aku mau jadi pacar kamu.” Kini dia memaksa sambil berusaha meraih lengan saya, dan saya pun menepisnya.

“ Aku nggak bisa.”

“Bisa nya kapan? Aku tunggu.”

“Ngaco kamu!”

“Kenapa?”

“Aku sudah punya pacar tahu!”

“Kamu bohong!”

“Ih? Gila kamu, Ken!”

“Memang. Ya sudah, aku harus melakukan apa agar aku bisa jadi pacar kamu?”

“Gak usah. Nggak perlu. Terima kasih.”

Kami terdiam.

Wajah saya menegang dan saya sebar pandangan saya kearah donat warna-warni di depan saya. Kenza masih menatap saya. Nggak peduli. Saya berdiri, ingin meninggalkan tempat ini. Tapi Kenza dengan sigap meraih tangan saya. “ Apa sih, Ken, kayak sinetron ah!” gerutu saya sambil menepis lagi tangannya. Tapi akhirnya saya kembali duduk.

“Kamu jawab dulu pertanyaan aku, baru pergi.” Bisiknya.

“Aku nggak mau. Aku nggak terima. Udah kan?” balas saya.

“Okey. Berarti kamu mau kalau aku jadian sama Besta.”

“Apa urusanku? Silahkan. Karena urusanku kini sudah selesai, aku pulang. Permisi, Kenza. Senang sekali bertemu denganmu hari ini.”

“Kenapa sih, kamu munafik banget?” tanyanya agak memelas.dan setengah berbisik.

“Kenapa sih, kamu bodoh banget?” balasku dengan gaya agak berlebihan. “Sudahlah Kenza, aku hanya ingin menyadari kalau kamu hanya masa laluku, dan aku memutuskan untuk nggak ingin bermain dengan masa itu lagi. Sudahlah. Aku nggak mau jadi pemuas ambisi kamu.”

Dia menatap saya dalam-dalam. Merenung sebentar dan menghela nafas. “Maafkan aku. Maaf juga buat pacar kamu.” Dia membelai rambut saya.

“Pulang yuk. Udah sore.” Saya kembali tersenyum.

“Okey.”

*Salam damai untuk Kenza.

Kamu ganteng, Nak! Carilah pacar yang bisa memenuhi ambisimu*

050710 / 20:57

0 Response to "PENGAKUAN KENZA"