First Impression of PKL

Posted by orange lover! , 2010/07/22 14.24

Cepat sekali rasanya dan tak disadari ternyata saya hampir menginjak semester tujuh dalam menjalani kuliah saya di Jurusan Sastra Inggris di Universitas Islam ’45 Bekasi. Berbagai macam hal telah terjadi dan telah mengubah hidup serta pola pikir saya. Banyak juga cerita – cerita yang telah terlontar dan kenangan yang masih berputar-putar dalam ingatan saya. Semua masih tersimpan dalam kotak yang sama, namun ternyata ada beberapa yang telah terpaksa untuk dikeluarkan lagi dan dibungkus rapat-rapat dalam kotak yang berbeda.

Kali ini, sebuah cerita kembali tercipta dari sini melalui sebuah tempat diluar sana yang menyimpan banyak sumber cerita untuk diolah. Dengan tema Praktek Kerja Lapangan (PKL) di SMA Sekolah Rakyat Bekasi, cerita ini pun saya rangkai diblog ini.



Tanggal 21 Juli lalu adalah hari pertama saya melakukan Praktek Kerja Lapangan di sebuah sekolah di daerah Babelan, Bekasi, SMA Sekolah Rakyat Bekasi, setelah melalui perkenalan kepada para siswa yang terlihat sangat takjub ketika saya dan teman saya, Kartika Syamtia (Tice) masuk ke ruang kelas. Dengan senyum mengembang tanpa sedikitpun mengurangi lebarnya, saya pun memperkenalkan dan meminta mereka untuk berkenan menjadikan kami sebagai tenaga pengajar mereka selama sebulan ini.

Pertama kali mengajar disekolah ini, saya mengajar kelas laki-laki (ya, karena murid dikelas ini semuanya laki-laki). Tepat pukul 10.30, dengan jantung yang berdebar-debar dan keringat yang berkumpul di wajah (yah, karena saat itu cuaca sangat panas), saya dan Tice memasuki ruang kelas. Pertama kali yang kami lakukan adalah menebar senyum, thanks God, mereka membalasnya. Namun setelah itu terdengarlah sayup sayup suara jahil a la anak ABG, “suiiitt… suiitt…! Haii.. ”. I don’t give it a damn hanya pura – pura tidak tahu dan mempersiapkan diri membuka pelajaran.

Good morning, everybody!” sapa saya memulai kelas.

Secara spontan mereka pun membalasnya dengan suara yang saya kira bisa terdengar sampai berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Woalahh.. saya belum pernah mendengar suara seperti itu sebelumnya. Anak SD pun nggak gitu-gitu banget.Haha.. Fortunately, I found enthusiastic students. Setelah memberikan beberapa peraturan kelas, saya pun memberikan mereka pelajaran pertama tentang Giving an Argument. Berdasarkan perintah si guru bahasa Inggris setempat, kami harus mengajar dengan full English. Mau menerangkan ataupun menjawab pertanyaan, harus menggunakan bahasa asing ini. Setelah saya menjelaskan bagaimana memberikan pendapat, saya menjadi merasa seperti I am a teacher working in underpressure saat melihat murid – murid saya terlihat bengong dan menunjukkan wajah yang sepertinya sedang memikirkan suatu masalah yang sangat berat.

So, do you understand, guys?” tanya saya ketika benar-benar menyadari bahwa mereka begitu acuh mendengarkan saya yang berbicara bahasa inggris and some say Yes and some say No. So, who can be believable? Untuk membuat mereka mengerti lebih jauh, akhirnya kami memutuskan untuk memberika mereka soal latihan, yah siapa tahu mereka sedikit mengerti tentang pembahasan ini.

Students, listen to me, All of you must do this exercise!” ujar Tice di depan kelas sambil menunjuk seorang siswa yang sedang mengobrol dengan teman sebangkunya. Tapi saya tersenyum geli saat ada seorang anak yang salah kaprah mendengarkan apa kata si guru mungil itu, “ Heh, denger, kata miss nya, I love you!” Hadeehh.. padahal si Tice bilang All of you, kenapa bisa ke I love you?

Okey, inilah saat nya mengerjakan tugas. Kami selaku tenaga pengajar siap membantu mereka dalam mengatasi segala kesulitan mereka saat berlajar khususnya bahasa Inggris. Banyak dari mereka yang bertanya apa arti kalimat ini dan itu, sebagian lagi, cuek nggak mau tahu dan mengerjakan tugas apa adanya. Sambil bolak – balik memeriksa pekerjaan mereka, saya mendapati seorang murid yang dengan serius mencari sebuah kata di kamus bahasa inggris. Saya tepuk pundaknya, “Can I help you?”. Dia kaget. Saya pun begitu.

“Miss, sa.. sa.. yaa kaget.” Ujarnya terbata-bata.

“ I’m sorry. Did you find any difficulties?” tanya saya dengan ramah.

Dia menunduk sambil tetap membolak-balikan halaman pada kamus tersebut. Saya menunggu jawaban darinya tapi dia tetap dia membisu. Saya lihat tangannya sedikit gemetar dan tiba – tiba berkeringat. Nah loh, kenapa deh ini anak? Jantungan apa ya? Pikir saya. Lalu saya pun tak sabar untuk bertanya, “Kamu kenapa?”

Sambil tersipu malu, dia pun menjawab, “Saya grogi miss!”

Wooott??!! Perlahan – lahan saya pun beranjak dari sisinya menuju teman di belakangnya. Percuma, mau ditanya apapun, orang yang lagi grogi bakalan susah untuk menjawab.

Saya kembali ke tempat duduk guru di depan kelas. Lalu ada seorang murid berkulit bersih, berhidung pipih dan bermuka tirus datang menghampiri. Dia meminta izin untuk kekamar mandi, “Miss, may I wash toilet?” Spontan saya tertawa mendengar kalimat yang diucapkannya. Wajahnya memerah dan berusaha membenarkan kalimatnya, “Sorry. Sorry. Wash my hand, Miss!” Saya mengangguk dan mengizinkan nya ke kamar kecil. Itu urusan dia nanti apakah dia benar – benar mau membersihkan toilet atau mencuci tangannya.

Jam bel pulang sekolah pun berkumandang. Rasanya ingin sekali saya mengajak Tice untuk bersujud syukur di depan kelas karena kelas sudah berakhir. Keringat saya pun tak berhenti mengalir sebagai dampak panasnya cuaca siang itu saat jarum jam strikes up to twelve. Mereka berdoa sebelum pulang, mengucap salam lalu pulang berhamburan keluar kelas. Saya dan Tice menghela nafas sepanjang – panjangnya. Ternyata, susah sekali mengajar anak laki – laki. Ketidak pedulian mereka sulit sekali untuk dihadapi dan mempertahankan konsentrasi mereka juga perlu di tingkatkan. Kesimpulan dan hikmah yang saya ambil adalah saya harus belajar untuk lebih memahami laki – laki khususnya yang sedang duduk di Sekolah Menengah Atas. Semoga pertemuan berikutnya saya mampu menghadapi mereka.

0 Response to "First Impression of PKL"