Biarkan Saya Masuk Angin
Posted by orange lover! , 2010/07/09 15.48
Sebulan ini saya merasakan kehadirannya. Entah siapa. Tapi yang jelas, saya merasakannya. Dia menyentuh lembut pipi dan meniup mesra setiap helai rambut saya. Awalnya memang saya begitu menikmatinya, hingga saya benar-benar menginginkannya lagi dan menjadi sebuah candu yang terkadang membuat badan saya sakit, panas dingin dan akhirnya terkulai lemas, ketika saya menunggu kehadirannya lagi. Setiap rasa ingin itu datang kembali, saya tidak tahu kemana saya harus mencarinya karena saya tidak tahu dia siapa. Ingin sekali berjalan mengikuti jejak – jejak yang pernah ia tinggalkan ketika ia menemani saya waktu itu, tapi ternyata itu hanya mimpi. Ternyata dia tidak pernah meninggalkan apa-apa, seperti bau ataupun sebuah benda untuk saya kenang. Saya ingin dan benar-benar ingin bertemunya, sekali lagi, walaupun saya yakin bahwa saya akan terus menunggunya untuk hadir kembali dan dia akan datang kemari.
Suatu kali dia hadir, walaupun saya hanya mendengar jejak langkahnya saat menghampiri, ketika itu, saya yang menjemputnya untuk datang. Segala kesabaran yang saya kumpulkan dari hari-hari sebelumnya ketika kami tak saling bertemu telah menguap sedikit, tapi ternyata hanya meninggalkan sedikit kesan saat saya mendengar suaranya. Tanpa menunggu lama , saya langsung mencercanya dengan segala rasa penasaran diatas kepala yang sudah hampir kadaluarsa saking saya tak tahu kapan saya akan mengutarakan ini semua.
Sambil memejamkan mata untuk benar-benar merasakan dia disamping saya, dengan setengah berbisik, sayapun bertanya kepadanya, “ Katakan padaku, kamu siapa?”
Suaranya pun tak kalah pelan, “Aku ini .. Aku ini…”
Ternyata dia belum menjawab, saya terus berusaha berkonsentrasi penuh. Dia memutari saya. Saya merasakan dirinya didepan saya, membelai kedua telinga, tengkuk, lalu menyelimuti saya dari belakang. Dingin. Suara saya mengeras, “Siapa namamu?”
Dia tertawa. Saya pun tersenyum. Dia menggelitik telinga kanan saya. “Nama saya Angin!” ujarnya.
“Bisakah engkau kemari lagi untuk menemani saya, Angin?” Saya membuka mata ketika tahu ia agak menjauh karena sentuhannya tak begitu terasa seperti beberapa detik yang lalu. “Saya mohon. Temani saya.” Ada sebuah titik air dalam rongga mata saya yang terpejam. “Saya membutuhkanmu, Angin! Sangat.”
“Kita lihat saja nanti. Saya harus pergi. Sudahlah, jangan mencemaskan saya, jika saya ingat, saya akan hadir lagi.” Sepertinya dia dibelakang saya.
“Jangan pergi.”
“Jangan terlalu banyak bertemu. Aku takut nanti aku masuk ketubuhmu.” Dia lebih terasa menjauh, dia sudah diujung pintu.
“Tak apa jika saya harus masuk angin. Itu lebih baik, karena kamu tak akan pergi dari saya walaupun untuk beberapa hari dan saya pun tahu keberadaan kamu, dalam diri saya.”
Tapi sayang, tak ada lagi suara gemerisik dari nya. Ternyata dia sudah pergi. Saya ambil seutas tali yang telah saya siapkan, lalu menggantung diri. Berharap menjadi angin, dan bertemu dirinya setiap hari.