See You, Kenza!
Posted by orange lover! , 2010/07/30 19.41
Seru deru mobil mengiringi kebisuan kami. Tak ada sepatah kata pun yang kami keluarkan hanya untuk membuat derai tawa. Entah apa yang kami pikirkan. Saya memilih untuk membuang pandangan keluar jendela mobil. Walaupun malam dan gelap tetapi saya merasa terhibur dengan lampu – lampu jalan yang walau setitik tetap terlihat indah. Besta dan Kenza yang tengah duduk tenang di bangku depan, asyik dengan dirinya sendiri. Besta mendengarkan musik dari ponselnya dan Kenza berkonsentrasi menyetir. Sekarang pukul 8 dan tak ada petunjuk kami akan kemana. Ya, saya tidak tahu akan dibawa Kenza kemana, tiba-tiba ia menjemput saya di rumah lalu mengajak saya naik ke mobilnya, kemudian membawa saya pergi. Dia pun tidak bilang jikalau dia mau menculik saya atau tidak. Setelah itu, Besta pun ia angkut pula. Berulang kali saya bertanya kemanakah kita akan pergi, dia hanya menjawab, nanti kamu juga akan tahu. Ya, nanti. Setelah saya mati penasaran.
Kulihat sekelebatan sebuah bangunan hijau di sebelah kiri. Stasiun Gambir. Walaupun agak terlihat remang-remang, tapi saya mengenalinya. Hmm.. berarti saya sudah berada di daerah Jakarta Pusat. Mobil masih melaju dengan cepat, si pengendara mengerti jalan yang sudah agak lapang. Seperti kerasukan setan jalan, sepertinya dia mengendarai mobil ini tanpa menginjak rem. Untungnya Besta mengingatkan untuk hati-hati, jika tidak mungkin kami akan menjadi setan gentayangan di jalan. Kenza membelokkan mobilnya ke kiri dan memasuki sebuah lahan parkir, dan kulihat dari jendela sebelah kananku, nampak si simbol kekuasaan di Jakarta, Monumen Nasional. Saya tersenyum sengit melihat monument tersebut. Entah mengapa. Pernah saya berpikir kalau posisi Monas akan diputar balik. Yoni diatas dan lingga dibawah. Hahaha..
Besta terpana melihat monument itu. Entah apa yang membuat ia tak mengedipkan matanya barang sedetik. “Wow, Monas!!” ujarnya setelah itu lalu melirik kearah Kenza. Entah apa artinya. Saya pernah beberapa kali kesini, namun bukan dimalam hari. Ternyata bagus juga ya, semua lampu-lampu sorot mengarah kearah si Monumen Nasional.
Kami berjalan beriringan memasuki taman Monas. Kenza ditengah, Besta dan saya berjalan disisi kanan dan kirinya. Mirip sekali seperti ada seorang pangeran tampan yang sedang berjalan-jalan lalu didampingi dua orang dayang-dayang cantik yang siap melayani. Tidak, saya yang cantik. Bukan Besta. Setelah memasuki kawasan monument, kami berdiri sebentar memandangi dan menikmati suasana saat itu. Anak-anak kecil berlari riang sambil berusaha melepas gandengan orang tuanya, beberapa orang bersepeda, dan banyak pula pasangan yang memadu kasih di tempat yang agak gelap dibawah pohon, ya, mungkin lebih tepatnya, mereka sedang pacaran. Kenza mencolek bahuku sambil menunjuk kesuatu tempat dimana kita akan beristirahat sejenak. Kami duduk bersila di atas rumput. Kenza menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya dalam-dalam. Begitupun saya. Setelah mengambil sebatang rokok dari tas kecil yang saya selempangkan, asap rokok kami pun beradu dan bercampur diudara. Besta asyik mengoceh. Saya tak mendengarnya jelas karena saya tak mengizinkan telinga saya merintih kesakitan mendengarnya. Saya hanya menangkap bahwa ia berterima kasih kepada Kenza telah membawanya kesini. Saya tersenyum sengit dan Kenza pun acuh.
Pria dengan argyle coklat yang sedari tadi tak mengeluarkan sepatah katapun, mulai bersiap dengan memulai pembicaraan. “Tahu nggak, kenapa kalian aku ajak kesini?” tanyanya tanpa menoleh kearah kami. Dia masih memperhatikan Monas. Saya melihat matanya. Lebih terang dari api yang berkobar diatas monument itu. “Aku hanya ingin memberi kabar kalau aku mau pindah kuliah. Aku mau ke Singapura. Dua hari lagi aku berangkat.” Saya jadi ingat salah seorang mantan pacar saya waktu SMP yang juga pindah kesana. Kenapa kalian semua pergi kesana sih? Apa Indonesia tak mampu memberikan ilmu yang kamu butuhkan?
“Kenapa mau pindah, Kenza? Kamu mau ninggalin aku ya? Aku nanti sama siapa? Kenza, jangan tinggalin aku, aku sayang sama kamu.” Kata Besta bertubi-tubi lalu memeluk pria itu erat-erat. Saya membuang rokok yang telah memendek setelah kuhisap tadi lalu menginjaknya dengan sepatuku sampai baranya benar-benar mati. Mata ku tak bisa berbohong, mereka menatap kedua orang itu dengan tatapan sinis. Kejadian ini terulang lagi. Sebelumnya mereka berciuman didepan mata saya, sekarang berpelukan erat. Saya membuang muka kekanan tapi yang saya lihat lagi – lagi orang pacaran. Sial! “Kamu kenapa sih mau pergi?” tanya saya dengan suara tinggi. Kenza melepas pelukan Besta lalu mengambil posisi duduk didepan saya. “Asal kamu tahu ya Ken, kamu pernah hilang setahun! Sekarang mau hilang lagi? Pergi saja sana! Nggak usah pulang lagi!” Suara saya meninggi kemudian baru menyadari apa yang saya telah katakan padanya.
Kenza tersenyum. Ah, saya benar-benar tak berkutik jika saya melihat segaris senyum diwajahnya. Dia benar-benar tahu kelemahan saya. Besta kini tampak tidak senang. Dia berkali-kali menepuk punggung Kenza agar kembali membalikkan badan kearahnya. Saya selami matanya, semoga dapat menemukan tiara yang selama ini ingin kudapatkan lagi. Namun lagi-lagi saya tak kuat terlalu lama dan kembali kepermukaan setelah mendengar rengekan si Besta yang sedari tadi bertingkah seperti orang kebakaran jenggot.
“Aku janji nggak akan kemana-mana. Aku akan tetap menghubungi kamu. Setiap hari.” Wajahnya berubah serius.
“Setiap hari? Nggak salah?” tanya saya setengah tak percaya.
“Asal, kamu menganggukan kepala untuk menjadi pacarku.” Kenza memegang tangan saya. Tatapannya yang tajam menembus mataku. Besta terkejut mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Kenza. Dia nampak begitu kesal, seperti nya ingin sekali menumpahkan kekesalan dengan merobohkan Monas. “Bagaimana?” ulangnya.
Saya melepas tangan dari genggaman Kenza. “ Ah, kamu lagi lagi. Nggak bosan?”
“Aku nggak bosan mencoba untuk beralih merasakan masa lalu lagi. Siapa tahu mesin waktu nya tak rusak dan menyesatkanku.” Ujarnya dengan lembut.
Argh.. Saya baru sadar dia begitu tampan malam ini ditimpa cahaya bulan. Ya, Kenza, mesin waktumu membawa pikiranku ke masa lalu. Semoga dia tidak ikut tersesat. Hanya 30 detik, pikiran saya kembali. “Entahlah, Ken. Belajarlah yang rajin disana.”
Besta menahan tawa. Saya lihat pula wajah iblisnya. Ingin sekali melemparnya keatas Monas, lalu saya tinggal pergi. Namun saya urungkan niat itu dan ia tetap menyeringai tanda kemenangan.
“Ayolah, saya ingin sekali berada dihatimu.” Pintanya memelas.
Saya keluarkan hati saya yang ada sedikit bekas luka dan memperhatikannya siapa tahu ada celah untuk Kenza huni. Tapi tenyata hati saya telah kosong, wajah Kenza kembali riang ketika mengetahui bahwa ada kesempatan untuk tinggal di hati saya yang masih lapang. Saya kembalikan hati saya ketempatnya dengan penuh sesal.
“Tuh kan, mau apalagi? Hatiku kosong, begitu pula kamu. Kita bisa menyembuhkan luka kita bersama-sama kan?” ujarnya sambil melirik kearah Besta.
“Ini nggak boleh terjadi. Kamu milik aku, Kenza!” Besta menimpali. Ia mungkin sudah tak sanggup mendengar Kenza yang memelas untuk meminta hati saya layaknya seorang anak kecil yang meminta permen. “Berulang kali aku minta perasaan kamu, ternyata ini buktinya kenapa kamu nggak mau kasih lagi ke aku. Ternyata ada musuh dalam selimut. Ngapain kamu ajak aku kesini kalau aku hanya melihat pertunjukkan sinetron seperti ini, hah? Keterlaluan kamu! Puas kamu sekarang sakitin aku?”
“Berarti kita seri!” jawabnya.
Plaakkk..! Telapak tangan Besta melayang kearah pipi kiri Kenza. Kobaran api Monas kini berpindah kedalam mata Besta. Tingginya Monas juga setara dengan emosi perempuan berambut panjang itu. Kokohnya Monas juga sebanding dengan rasa sayangnya kepada Kenza walaupun ia telah tersakiti.
Sambil mengusap pipinya yang memerah, Kenza berujar, “Lebih baik kita pulang saja sekarang.”
Saya lihat jam tangan merah saya yang telah menunjukkan pukul 11, lalu mengikuti langkah Besta dan Kenza yang cepat dan menyalakan rokok kembali. Kenza mencoba menjelaskan dan merangkul Besta. Saya tahu, Kenza tidak plin plan dalam urusan perasaannya. Dia hanya tak ingin kehilangan sahabat karena berurusan dengan perasaannya yang mencoba untuk tidak berteman baik dengan sahabat-sahabatnya.
Seperti sebelumnya ketika berangkat ke Monas, kami pun kembali terdiam dalam perjalanan kerumah. Saya dan Kenza asyik dengan rokok masing – masing dan saya pun leluasa melihat keadaan jalan dengan leluasa ketika kaca jendela terbuka. Jalan pun telah hampir tanpa kendaraan, bisa dihitung dengan jari. Besta pun ternyata ikut merasakan nikotin dengan mulutnya. Malam yang indah. Tanpa suara hanya terpaku dengan pikiran masing – masing dan juga merasa menang dari Besta.
Tiba dirumah Besta, ia tidak langsung turun. Wajahnya menunduk. Kenza mematikan mesin mobil. “Mau diantar sampai depan pintu rumah nggak?” tanya Kenza seraya membuka pintu.
“Nggak usah. Aku cuma mau bilang sesuatu kekamu. Hati hati ya di negeri orang. Jaga diri baik – baik. Belajar yang benar jangan sampai kita disini kecewa. Jangan lupa kabari aku. Aku nggak mau lagi kehilangan lagi teman kayak kamu.” Ucap Besta panjang lebar sambil tetap menunduk. Tapi saya melihat sesuatu yang mengkilap terkena pantulan cahaya lampu dari luar. Air mata. Besta menangis. Kenza memeluknya walaupun persneling menghalanginya. Perempuan itu terisak didalam dekapan Kenza. Dia menangis seperti tengah ditinggalkan ibunya. Saya menghela napas dan tak kuat dengan apa yang telah saya lihat. Sepertinya saya juga akan merasa kehilangan. Kenza membelai rambutnya yang pendek tetapi ujung matanya menangkap gerak-gerikku. Kami menunggu sampai tangis Besta habis dan dia puas mendekap Kenza yang mungkin bisa ia rasakan hanya dua menit sampai dia bisa merasakannya lagi tiga tahun nanti. Akhirnya dia melepaskan dekapan Kenza dan kulihat wajahnya seperti belum puas dan tak ikhlas melepasnya, ditambah lagi ia mengecup kedua pipi lelaki itu. Setelah itu ia benar – benar pergi dan Kenza dan saya beranjak kerumah saya. Saya pindah ke bangku depan samping Kenza dan melihat argylenya yang basah terkena banjir air mata Besta.
“Kamu serius nggak mau jadi pacar aku?” tanyanya dengan kerling mata genit. Kami telah sampai di kediaman saya. Dia mematikan mesin mobil. Kami masih enggan untuk berpisah sepertinya.
Saya menggeleng. “Simpan saja perasaanmu itu.”
“Ya, saya akan simpan dalam koper dan saya bawa ke Singapura.” Jawabnya.
“Jangan. Nanti dia akan mengganggu kamu.” Cegah saya.
“Kalau aku merindukanmu?” tanyanya resah.
Saya tersenyum dan menoleh kearahnya. “Simpan saja didalam botol dan taruh dirumahmu. Aku juga akan begitu. Kita akan buka sama-sama saat kamu kembali kesini. Kalau kamu bawa ke luar negeri, takut dia tertinggal atau kau beri ke orang lain.”
Dia tertawa kecil lalu membelai rambut saya. “Ya. Aku pasti kangen banget sama kamu.”
“Hati-hati ya disana.” Saya menatapnya. Merekam pandangan mata dan senyum khasnya untuk terakhir kalinya. Saya mengecup pipi kanannya. Dia tersentak. Ah, wangi tubuhnya juga tak lupa saya simpan dalam otak. Saya menyadarinya ketika hidung saya melewati lehernya. Telapak tangannya memegang pipi saya dan seketika itu pula saya memejamkan mata mengetahui bibirnya hampir menangkap bibir saya. Buru – buru saya palingkan wajahnya dari depan mata saya. Saya tidak ingin bibirnya mengecap perasaan saya yang masih tertinggal setengah untuknya. Malam telah beranjak larut. Sambil membuka pintu mobil, dan meninggalkan lelaki itu yang tengah menyesal, saya berkata, “Sampai jumpa lagi, Kenza!”.