Jangan Ditiru
Posted by orange lover! , 2010/09/23 10.18
Sore itu, seperti biasanya, saya mengendarai motor menuju tempat mengajar di sebuah tempat pembelajaran bahasa Inggris di daerah Jati Asih. Keadaan mood yang normal membuat saya agak bersemangat untuk menjalani sisa waktu hari itu. Setelah sampai ditempat yang dituju, saya memasuki ruang kantor tempat guru-guru berkumpul sebelum bekerja. Terdapatlah disana Ibu Manajer dan seorang wanita yang seusianya setengah baya dari saya, saling bercakap-cakap. Wajahnya nampak murung dan kebingungan. Saya yang memang tidak tahu apa-apa sebelumnya dan tidak ingin mencampuri urusan orang lain lebih suka mengambil jarak tempat duduk dan mulai mempelajari buku materi yang akan saya sampaikan nanti dikelas.
Beberapa menit kemudian, saya menoleh kearah mereka karena Ibu Manajer memanggil saya untuk menghampirinya.
“Ya. Ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanya saya.
“Ka, ini ada Ibu murid disini yang datang untuk mengabarkan tentang anaknya. Apakah Fikri (bukan nama sebenarnya) murid kamu di Level 5?” jawabnya.
Saya mengangguk dan melemparkan senyum kearah Ibu tersebut yang memakai kerudung abu-abu dan blouse putih. Di matanya yang terpancar kesedihan membuat jantung saya agak berdegup kencang dan pikiran saya mulai menerawang kemana – mana yang membuat saya agak sedikit takut. Salahkah pengajaran saya selama ini kepada anaknya? Merasa jenuhkah ia? Apakah ia tidak suka dengan pengajaran saya? Hmm.. ternyata dugaan saya meleset. Malah, saya membuat anaknya tersadar. Hah?
Saat itu adalah hari pertama masuk kembali ketempat les bahasa Inggris setelah mendapatkan liburan. Semua anak masuk kekelas tanpa ada yang absen. Seperti kebiasaan saya setelah libur, saya selalu menugaskan murid-murid untuk membuat sebuah cerita tentang liburannya. Kali ini, agar memudahkannya, mereka dapat menggunakan gambar untuk menceritakan tentang liburan mereka. Setelah 45 menit berlalu, akhirnya mereka mengumpulkan tugas yang mereka kerjakan. Tak ada yang mengambar, mereka menulis sendiri cerita yang mereka buat tentang apa yang mereka alami semasa liburan. Tapi tunggu, hanya dua dari sepuluh anak yang benar-benar mengerjakan dengan baik. Kenapa yang lainnya? Beberapa dari mereka hanya menulis kurang lebih 3 baris. Apalagi Fikri, dia hanya menulis satu kata, After… Seharusnya, mereka bisa bercerita dengan lancar tentang apa yang yang terjadi selama liburan karena mereka sudah mempunyai gambaran untuk itu dan tidak harus berimajinasi tinggi untuk mengerjakannya. Saya menghela napas. Ada apa ini? Setelah menyuruh mereka membacakan ceritanya didepan kelas, sebelum pulang saya berusaha menasehatinya?. “ Ada apa dengan kalian hari ini? Mengapa tidak mengerjakan tugas yang saya berikan? Apakah terlalu sulit untuk diselesaikan?” saya memberondong pertanyaan untuk mereka yang sebagian menundukkan kepalanya. Mereka terdiam. “Hayo, ada yang mau berbicara?” ujar saya yang berusaha menjadi guru yang demokratis. Saya ingin sekali bisa berbagi dalam menyampaikan pendapat di kelas dengan murid-murid agar saya bisa menangkap apa yang mereka inginkan. Mereka tetap diam. “Kok habis liburan jadi tambah malas sih? Tidak boleh seperti itu. Tunjukkan ke orang tua kalian bahwa kalian anak yang pintar yang bisa membanggakan mereka. Kan kasihan, Mama dan Papa sudah membayar uang les, tapi kalian nggak dapat apa – apa disini. Kalian mau belajar dan pintar berbahasa Inggris kan?” tanya saya lagi dan diiringi anggukan kepala murid-murid yang berada di depan saya. “Well, Unfortunately, the time is over but you don’t have to forget to study English at home. Thank you very much for coming and See you again next week.” Mereka berhamburan keluar kelas dan keadaan kembali sunyi.
“Lalu Fikri pulang kerumah dengan raut wajah yang agak muram.” Ujar Ibu itu pelan setelah mendengar cerita saya. Saya memperhatikannya dengan seksama. “Saya yang tengah duduk di ruang tengah bingung dengan gelagat Fikri saat itu. Ia menghampiri saya.”
“Ma, besok Fikri nggak mau les bahasa Inggris lagi dan Mama nggak usah repot-repot bayar uang lesnya. Sebenarnya, Fikri nggak suka dan nggak bisa Bahasa Inggris. Aku males banget.” Jelas anak yang duduk di kelas 5 SD itu.
Saya kaget dengan apa yang Fikri katakan melalui penjelasan Ibunya. Lagi-lagi jantung saya berdegup kencang. Apakah saya salah telah menasehatinya seperti itu kepada murid-murid kemarin? Atau anak itu memang salah tanggap dengan apa yang saya nasihatkan untuknya? I concluded, as students, we mustn’t follow what Fikri did to himself. If you don’t know or understand about a lesson at your school, you have to try and study harder to make yourself better than tomorrow by asking your teachers. Make your parents proud of you through your achievements. You can share what you want and your interests to your parents so they can understand and support you. Do the best of you!