Monalisa
Posted by orange lover! , 2010/12/18 15.07
Namanya Lisa. Lengkapnya Monalisa. Kulitnya putih dan mulus, hidungnya mancung serta rambutnya panjang lurus terurai seperti yang saya lihat di iklan shampoo di televisi dan seperti gambar wanita yang ada di lukisan Leonardo Da Vinci, namun Lisa lebih modern dengan gaya poni kesamping. Usianya 25 tahun. Dia belum menikah dan belum pernah pacaran. Bukannya tidak laku dan tidak disukai oleh para lelaki, hmm.. jangan salah, banyak pria di tempat kami bekerja memuja dan mengidam-idamkannya. Tapi entahlah dia mengatakan pada saya bahwa ia tidak ingin pacaran. Suatu kali, dengan rasa penasaran level tinggi, saya pun iseng bertanya padanya saat jam makan siang. “Serius, Lis, kamu belum pernah pacaran? Kenapa? Saya baru pertama kali ketemu orang kayak kamu loh!” Dia tidak menjawab. Hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya dan melanjutkan melahap makan siangnya.
Sudah dua tahun ini saya dekat dengannya. Saya senang berteman dengannya karena ternyata dia adalah seorang teman yang sungguh perhatian dan penyayang. Entah mengapa, saya merasa bahwa dia adalah kakak saya, bukan teman. Memang, usia kami terpaut empat tahun, makanya saya senang dia bisa menjadi teman maupun kakak yang selama ini saya idamkan. Pernah suatu waktu ketika saya putus dengan Kiky, sekitar lima bulan yang lalu. Tak pikir panjang, saya langsung pergi ke rumah Lisa dan mencurahkan segala perasaan disana sambil terisak menyesali segala keputusan yang telah terjadi antara saya dan Kiky. Dengan baik hati, Lisa membuatkan saya secangkir teh dan sebuah tatapan yang hangat pula. Saya seperti mempunyai kakak sendiri. Ya, memang saya adalah anak pertama jadi tidak ada kakak yang bisa menyayangi adiknya dan kini kutemukan Lisa. Lalu, hujan turun ketika malam itu saya membagi semua keluh kesah. Malam berkedap-kedip karena kilatan sambar. Saya masih menangis di bahu Lisa dan ia membelai – belai rambutku. “Sudahlah, kalau sudah tahu laki – laki nggak punya perasaan dan mau menang sendiri, mereka belum pernah merasakan menjadi perempuan. Sudahlah, untuk apa masih ditangisin lagi sih?” Dia berkata seperti itu kepadaku. Nasihatnya selalu terdengar sinis dengan laki-laki. Mungkin itulah cara agar saya tidak tenggelam menangisi kepergian laki-laki itu. Lisa sungguh hebat dalam mendapatkan segala cara untuk menenangkan dan menasihati saya.
Setelah menenangkan diri sendiri selama dua hari, akhirnya saya bangkit lagi dari rasa patah hati. Senyuman kembali mengembang dan keceriaan mulai disebar dan terpaut di wajah saya. Lisa pun ikut bahagia atas kembalinya diri saya. Dia tidak hanya bahagia karena saya sudah kembali sedia kala, namun ia bilang, ternyata ia berhasil menjadi motivator saya. Memang, dia selalu bisa memotivasi hidup saya. “Senang, jika ada seseorang yang mempercayaiku.” Begitulah komentarnya setelah saya memujinya karena telah menjadi penasihat yang baik bagi saya. Saat jam makan siang adalah waktu yang saya tunggu untuk memberikan kejutan untuk Lisa. Aku akan memperkenalkannya kepada seorang laki – laki. Ia pantas untuk mendapatkannya. Laki-laki yang mapan dan juga tampan ini pasti cocok dan serasi untuk berdampingan dengan Lisa yang penyabar, baik hati dan penyayang. Saya hampiri dengan riang gembira Lisa yang tengah memakan salad. “Lisa, ini, saya perkenalkan, Reza.” Laki – laki itu mengulurkan tangannya. Matanya yang bulat berbinar ketika ia mulai menatap mata Lisa. Sepertinya rencana saya berhasil menjodohkan ia dengan Riza. Lisa membalas uluran tangan Riza dan tersenyum simpul lalu kembali melahap makan siangnya itu. Saya terheran-heran melihat tingkahnya itu. “Lisa, kamu sakit ya?”. Lisa menggeleng dan tersenyum. Ia menyuruh saya untuk duduk disampingnya dan saya menyuruh Riza kembali kekantornya setelah perkenalan yang dingin tadi terjadi. Saya yang masih tidak mengerti.
“Kamu ngapain sih, kok memperkenalkan aku dengan laki – laki itu?” tanyanya dengan nada agak meninggi.
“Aku nggak bermaksud apa – apa kok, Lis. Aku hanya mengenalkan temanku kepada kamu. Itu saja dan tidak ada maksud apa – apa. Dia ternyata sedang makan disini.” Saya putuskan untuk berbohong kepada Lisa tentang rencana ini karena saya rasa rencana yang sudah dibuat tidak berjalan baik.
“Oh, kukira dia calon pacarmu.” ujarnya sambil melengang pergi meninggalkan rumah makan dan saya mengikutinya dari belakang.
“Tidak secepat itu, Lisa. Aku tahu mana yang terbaik untukku dan pasti itu harus memakan waktu lama.” timpal saya sambil berusaha mengambil langkah sama dengan Lisa. Wanita yang memakai blouse merah dan rok span itu mulai berjalan terburu – buru dan sepertinya juga berusaha untuk mengakhiri percakapan ini.
“Bukannya kamu seperti itu. Setiap ada laki – laki yang kamu anggap berbintang – bintang dimatamu, kamu selalu jatuh cinta. Jadi aku tidak salah kan mengasumsikan bahwa pria itu sedang dekat denganmu?” sinis Lisa tanpa melihat wajah saya saat berbicara. Saya menghentikan langkahnya dengan meraih pundak perempuan berkulit putih itu dengan sigap. Saya agak terganggu dengan ucapannya tadi yang seakan – akan tengah memuntahkan perasaan yang tidak enak dalam hatinya tentang diri saya.
“Great, Lisa! Apa lagi yang ingin kamu sampaikan ke aku? Katakan saja sekarang, Lis! Asal kamu tahu ya Lis, aku berusaha untuk baik dan membalas semua kebaikan kamu dengan membantu mencarikan seorang laki – laki yang bisa menemani kesendirianmu. ” saya mulai terbawa suasana sampai saya menyadari bahwa kami berada di sebuah trotoar jalan depan tempat kami bekerja. Lisa terdiam dan agak ragu untuk membalas apa yang sayang katakana tadi kepadanya.
“Tapi aku nggak minta.” balasnya pendek dan mulai menatap mata saya. Saya menjadi tambah heran dengan apa yang dia katakan tadi. Setahu saya, beberapa perempuan malah meminta untuk dikenalkan kepada seorang pria ketika mereka ingin mempunyai pacar atau pasangan hidup. Tapi, Lisa bukan salah satu perempuan didalamnya. Dia malah memarahi saya ketika tahu bahwa saya berusaha memperkenalkan seorang pria kepadanya. Well, maybe she is not too desperate to face her love life.
“Aku berusaha untuk inisiatif lah, Monalisa. Aku mencari tahu apa yang sebenarnya kurang dari kamu. Aku nggak mau kamu merasa sendiri dan aku rasa kamu perlu dicintai dan mencintai, Lis. Apa aku salah?” Saya mulai membela diri dihadapan perempuan yang wajah nya kini terlihat gusar dan bimbang. Apakah saya terlalu menekan dan membingungkannya? Mungkin dia sedang mencerna apa maksud dari apa yang sedang saya utarakan kepadanya.
Dia menggeleng. “Ya, kamu salah. Kamu nggak perlu repot – repot untuk mencarikan pasanganku itu karena aku nggak bisa mencintainya dengan penuh. Percuma saja.” Lisa melemah namun tatapan matanya masih tegas.
Saya tertawa kecil dan membelai rambutnya sambil merapihkan poninya kesamping. Rambutnya yang tertiup angin menurunkan pesona Lisa. “Lisa, mencintai itu adalah sebuah proses. Kamu nggak akan tiba – tiba mencintai seseorang walaupun hanya dari pandangan pertama. Jadi kamu nggak perlu tahu akan hal itu. Semuanya akan baik – baik saja.”
“Apakah akan baik – baik saja jika saya tidak menyukai laki – laki? Aku tidak bisa mencintai salah satu dari mereka karena arahku berbeda. Terima kasih karena kamu telah membuatku mengaku.”
Saya terpaku dan kaget setengah mati dengan apa yang ia akui. “Jadi, Lisa, selama ini kamu..”
“Kamu bisa menyimpulkannya sendiri.”
Godzilla, 23 :57 Sat, 111210
ica gue tertarik sama yang namanya lisa kayanya gue pengen kenal dia dh